Rabu, 19 November 2014

MANUSIA PERAHU: Kajian Historis Terhadap Kehidupan Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996

MANUSIA PERAHU:
Kajian Historis Terhadap Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996
Oleh
Omet Rasyidi, Wawan Darmawan, Ayi Budi Santosa[1]
ABSTRACT
The emergence of Vietnamese boat people is inseparable with the circumstances occurred in Vietnam. The situation is not safe politically and the safety of the people of Vietnam, especially South Vietnam, that iserratic, resultingin the displacement carried out by the Vietnamese to several countries around Southeast Asia such as Thailand, Philippines, Malaysia, Singapore and Indonesia. The Vietnamese refugees are also called the boat people as they explore the sea by boat. The arrival of the refugees becomes an internal problem for the South East Asia countries. To overcome these problems, a meeting was held between the Minister of Foreign Affairs of Southeast Asian countries to address and find solutions to the problems of the Vietnamese boat people. The results of the meeting formulated some of the decisions contained in the Statement of Bangkok,as one of the countries of Southeast Asia who was visited by the Vietnamese refugees, which provides a place to manage the refugees and the UN agency UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee) that is in charge of the refugee problem. They are actively participating in solving these problems. For Indonesia itself, the government provides Galang Island as the place to manage the refugees. The selection of Galang Island is due to its strategic location adjacent to neighboring countries such as Malaysia and Singapore, so it can facilitate the communication process between the countries that became the first asylum. Since becoming a place for refugees, Galang Island was turned into a town with facilities that can support the sustainability of the lives of the refugees such as barracks, markets, schools, hospitals, places of worship, sports hall and so forth. The construction of these facilities is intended to facilitate the management of the refugees before they are sent to a third country. For those who are not sent to a third country, the refugees were sent back to their home countries.
Keywords: boat people, refugees, Galang Island


ABSTRAK
Munculnya manusia perahu Vietnam tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang terjadi di Vietnam itu sendiri. Keadaan yang tidak aman secara politis serta keselamatan masyarakat Vietnam khususnya Vietnam Selatan yang tidak menentu mengakibatkan terjadinya pengungsian yang dilakukan oleh masyarakat Vietnam ke beberapa negara di sekitar Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura serta Indonesia. Para pengungsi Vietnam ini disebut juga dengan manusia perahu karena mereka mengarungi lautan dengan menggunakan perahu. Kedatangan para pengungsi tersebut menjadi permasalahan internal bagi negara-negara Asia Tenggara. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diadakan pertemuan antar Menteri Luar Negeri negara-negara Asia Tenggara untuk mengatasi dan mencari solusi terhadap permasalahan manusia perahu Vietnam tersebut. Hasil dari pertemuan tersebut merumuskan beberapa keputusan yang tertuang dalam Bangkok Statementyaitu salah satunya negara-negara Asia Tenggara yang disinggahi oleh para pengungsi Vietnam menyediakan sebuah tempat untuk mengelola para pengungsi tersebut dan badan PBB yang bertugas menangani masalah pengungsi yaiu UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugee) ikut aktif dalam menyelesaikan permasalah tersebut. Untuk Indonesia sendiri, pemerintah menyediakan Pulau Galang sebagai tempat pengelolaan para pengungsi tersebut. Pemilihan Pulau Galang dikarenakan lokasinya yang strategis yaitu berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sehingga dapat memudahkan proses komunikasi diantara negara-negara menjadi suaka pertama. Sejak menjadi tempat untuk para pengungsi, Pulau Galang pun berubah menjadi sebuah kota dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang keberlangsungan kehidupan para pengungsi seperti barak-barak pengungsi, pasar, sekolah-sekolah, rumah sakit, tempat peribadatan, gedung olahraga dan lain sebagainya. Pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut ditujukan untuk mempermudah pengelolaan pengungsi sebelum dikirim ke negara ketiga. Bagi mereka yang tidak dikirim ke negara ketiga, para pengungsi dipulangkan kembali ke negara asal.
Kata kunci: manusia perahu, pengungsi, Pulau Galang

PENDAHULUAN
Negara Vietnam merupakan salah satu negara yang ada di Asia Tenggara yang memiliki sejarah panjang dalam usaha meraih dan mempertahankan kemerdekaannya. Sejarah panjang tersebut dimulai dari usaha yang dilakukan Vietnam untuk memperoleh kemerdekaan dari Perancis. Politik yang dijalankan oleh Perancis itu mengakibatkan terjadinya perlawanan rakyat Vietnam untuk mengusir Perancis dari wilayahnya. Namun perlawanan-perlawanan tersebut dilakukan tanpa adanya kekompakan karena kejelian dari Perancis yang melakukan politik divide and rule untuk memecah belah perlawanan serta perjuangan merebut kemerekaan tersebut terpecah ke dalam 2 kelompok besar yaitu kelompok nasionalis dan kelompok komunis yang sulit untuk disatukan. Namun pada perkembangan selanjutnya kelompok komunis yang menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan Vietnam (Sardiman, 1983: 7).
Setelah perang kemeredekaan melawan Perancis yang disebut perang Indocina I, kemudian dilanjutkan dengan perang saudara antara Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan yang disebut perang Indocina II serta perang yang terjadi akibat invasi Vietnam ke Kamboja disebut perang Indocina III. Keadaan yang selalu berada dalam perang menjadikan situasi tidak aman yang dirasakan oleh masyarakat Vietnam dan keselamatan merekapun tidak terjamin. Keadaan yang seperti itu menimbulkan inisiatif dari masyarakat Vietnam untuk meninggalkan negaranya. Namun, tidak hanya faktor perang saja yang menimbulkan pemikiran dari masyarakat Vietnam Selatan untuk mengungsi, tetapi juga karena adanya re-edukasi (semacam indoktrinasi) yang merupakan kebijakan pemerintahan Ho Chi Minh (Ismayawati, 2013: 1).
Kebijakan re-edukasi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh pemerintah Ho Chi Minh untuk menyebarkan pengaruh ideologi komunisnya di Vietnam Selatan. Kebijakan tersebut dinilai harus dilakukan karena Vietnam Selatan sebelumnya berada dalam pengaruh Amerika Serikat yang memiliki ideologi yang berbeda dengan Vietnam Utara yang bukan tidak mungkin bahwa pengaruh dari Amerika Serikat tersebut telah menyebar dan mempengaruhi pemikiran dari rakyat Vietnam Selatan. Seperti kata pepatah klasik yang menyebutkan bahwa revolusi selalu menelan anak-anaknya sendiri (TEMPO, 28 Agustus 1982). Maksud dari pernyataan tersebut ialah para tentara atau rakyat Vietnam khusunya Vietnam Selatan yang berjuang melawan rezim Saigon pada waktu perang saudara di Vietnam,  mereka malah dibuang dan dimasukkan ke dalam penjara. Akibat dari adanya kebijakan re-edukasi tersebut, banyak rakyat Vietnam yang melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari nasib yang buruk yang akan menimpa mereka.
Selain adanya penerapan kebijakan re-edukasi, terjadi pula konflik antara Vietnam dengan Kamboja. Konflik tersebut muncul karena cita-cita dari Ho Chi Minh untuk menyatukan Indocina dalam pemerintahannya. Hal tersebut ditentang oleh Kamboja yang pada saat itu dipimpin oleh Pol Pot yang berasal dari bangsa Khmer. Pol Pot merupakan seorang yang anti-Vietnam seperti kebanyakan bangsa Khmer lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Indonesia yang dikutip oleh Apriani (2012: 49) yaitu :
Perasaan anti Vietnam yang dirasakan dalam hati bangsa Khmer sangat mungkin disebabkan oleh pengalaman masa lampau, dan pula oleh Vietnam yang secara langsung berbatasan dengan Kamboja (dan karenanya dapat menjadi ancaman langsung). Kehidupan orang-orang Khmer juga tidak sebaik orang-orang kelompok etnis Vietnam. Angka buta huruf begitu menyedihkan yaitu sekitar empat puluh lima persen jumlah penduduk pribumi Kamboja masih belum bisa membaca dan menulis.
Tidaklah mengherankan apabila Pol Pot menolak dari ajakan dari Ho Chi Minh untuk bersatu.
   Kedatangan pengungsi dari Vietnam ini menjadi permasalahan bagi negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Khusus untuk Indonesia, dalam menangani permasalahan pengungsi Vietnam, dihadapkan pada prinsip yang melihat suatu kerja sama regional maupun internasional demi peningkatan ketahanan nasional dan ketahanan regional, dan melalui kerja sama ini ikut menciptakan perdamaian dunia pada umumnya dan perdamaian di Asia Tenggara pada khususnya yang disebut ZOPFAN (Zone, of Peace Freedom and Neutrality) (Moertopo, 1976: 76). Dari prinsip tersebut, jelas bahwa Indonesia menerima para pengungsi Vietnam dan mengesampingkan permasalahan ideologi yang dibawa oleh para pengungsi tersebut. Indonesia ingin menciptakan suatu perdamaian khususnya di Asia Tenggara dan berusaha untuk menyelesaikan permalasahan yang terjadi di Vietnam.
Usaha yang pertama dilakukan oleh Indonesia ialah mencari tempat untuk penampungan para pengungsi Vietnam (Ismayawati, 2013: 15-16). Syarat utama yang menjadi acuan dalam pemilihan tempat sementara untuk pengungsi yaitu wilayahnya cukup luas, mudah untuk menyalurkan ke negara ketiga, mudah memisahkan antara penduduk setempat dengan pengungsi dan mudah dicapai untuk bantuan logistik demi kelancaran pembangunan kamp pengungsi serta berdekatan dengan negara tetangga yang menerima pengungsi seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Flipina. Pencarian itu akhirnya menetapkan Pulau Galang yang merupakan suatu pulau sedikit penduduknya sebagai tempat tinggal untuk para pengungsi.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertartik untuk mengkaji bagaimana kehidupan pengungsi Vietnam selama berada di Pulau Galang baik secara sosial maupun ekonominya. Kehidupan para pengungsi yang tidak terlepas dari peran UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee) ataupun pemerintah Indonesia sendiri, oleh karena itu peneliti mengangkat permasalahan “Kehidupan Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996”. Peneliti mengambil tahun 1979 sampai 1996 karena pada tahun tersebut para pengungsi mulai dipusatkan di Pulau Galang untuk dipersiapkan dikirim ke negara ketiga atau dikembalikan kembali ke negaranya hingga akhirnya Pulau Galang harus dikosongkan sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh UNHCR dan negara-negara Asia Tenggara yang menjadi negara suaka pertama.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode historis. Metode ini digunakan oleh peneliti karena peneitian ini merupakan kajian sejarah yang data-datanya diperoleh dari jejak-jejak yang ditinggalkan dari suatu peristiwa masa lampau. Metode historis menurut Gottschalk (1986: 32) adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan, kemudian menuliskannya berdasarkan fakta yang diperoleh. Sedangkan menurut Ismaun (2005: 34), metode historis terdiri dari empat langkah yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik (kritik eksternal dan internal), interpretasi (penafsiran) dan historiografi.
Pada tahap heuristik, peneliti melakukan pencarian sumber mengenai permasalahan yang dikaji di beberapa perpustakaan seperti perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, perpustakaan Jurusan Pendidikan Sejarah, perpustakaan Museum Konfrensi Asia-Afrika, perpustakaan Batoe Api, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta beberapa perpustakaan universitas lainnya yaitu perpustakaan Universitas Parahyangan dan perpustakaan Universitas Padjadjaran. Untuk pencarian sumber-sumber yang relevan di internet, peneliti mencari beberapa jurnal ataupun artikel dari beberapa website seperti Oxford University Press jurnal-jurnal terbitan dari beberapa universitas. Selain itu, peneliti juga mencari skripsi atau tesis yang dipublikasikan yang relevan dengan yang dilakukan oleh peneliti.
Setelah melakukan heuristik, peneliti melakukan kritik. Kritik dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisir subjektivitas dalam penulisan sejarah. Peneliti melakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber buku yang didapatkan pada tahap heuristik. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Peneliti menemukan sumber primer yaitu Surat Keputusan Presiden Nomor 38 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam di Indonesia. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk menilai kelayakan sumber sebelum mengkaji isi sumbernya itu sendiri. Dalam proses kritik eksternal ini, peneliti beranggapan bahwa sumber keputusan presiden ini merupakan salah satu sumber primer yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan skripsi ini karena selain merupakan sumber yang sezaman dengan penelitian yang dilakukan. Jika dihubungkan dengan yang dimaksud dengan kritik eksternal yaitu sumber yang diklasifikasikan harus otentik dalam artian berada dalam periode yang sezaman dengan apa yang diteliti serta merupakan perintah langsung dari Presiden Indonesia pada saat itu yaitu Soeharto. Otentik yang dimaksud disini ialah bahwa sumber tersebut dapat melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang tampaknya benar. Dalam hal ini peneliti mencoba untuk menghubungkan surat keputusan presiden dalam tindak lanjut masuknya manusia perahu Vietnam ke Indonesia.
Setelah melakukan kritik eksternal, peneliti melakukan kritik internal. Menurut Sjamsuddin (2007: 143) kritik internal menekankan aspek “dalam”, yaitu isi dari sumber kesaksian (testimoni). Peneliti melakukan kritik internal terhadap buku-buku yang memaparkan mengenai sejarah Vietnam yang mengakibatkan terjadinya pengungsian dan keadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Semua buku tersebut memaparkan hal yang sama mengenai terjadinya pengungsian yang dilakukan oleh rakyat Vietnam, yang membedakan hanyalah kedalaman dari materi dan kejelasan yang dipaparkan. Misalnya buku Indonesia Dalam Arus Sejarah yang ditulis oleh Taufiq Abdullah dkk yang memaparkan mengenai sejarah Indonesia dari zaman orde baru hingga reformasi, materi yang dipaparkan lebih mendalam yang berkaitan dengan pengungsi Vietnam di Pulau Galang dibandingkan dengan buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI Edisi Revisi yang memaparkan mengenai sejarah Indonesia dari orde baru hingga berakhirnya zaman orde baru. Namun materi mengenai pengunsi Vietnam tidak begitu mendalam dan jelas.
Selanjutnya adalah tahap interpretasi. Dari semua fakta-fakta yang ada sangat jelas bahwa peran dari dunia internasional dalam hal ini UNHCR dan pemerintah Indonesia memberikan kontribusi dalam kehidupan para pengungsi Vietnam di Pulau Galang. semua fakta tersebut disertai penjelasan mengenai bukti-bukti nyata yang dilakukan oleh UNHCR dan pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan pengungsi Vietnam. Jadi peneliti menafsirkan bahwa kehidupan para pengungsi Vietnam di Pulau Galang tidak terlepas dari kebijakan yang telah dibuat dan disepakati oleh UNHCR dan Indonesia.

HASIL PENELITIAN
Latar belakang adanya manusia perahu ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi politik di Vietnam yang pada saat itu sedang mengalami peperangan yang berkelanjutan. Pertama ialah perang rakyat Vietnam melawan intervensi asing dari Perancis 1944-1954, kedua perang rakyat Vietnam melawan intervesi asing dari Amerika Serikat 1957-1975 dan yang ketiga perang rakyat Vietnam melawan Kamboja yang di dalamnya terdapat intervensi dari dua negara komunis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat yaitu dari Uni Soviet dan RRC (Abdulgani, 1978: 20).
Latar belakang dari perang antara Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan tidak terlepas dari tidak dilaksanakannya pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 1956 (Winarko, 2007: 53). Kegagalan tersebut dinilai oleh pemerintahan Ho Chi Minh untuk melakukan unifikasi Vietnam dalam satu pemerintahan karena menurut Ho Chi Minh re-unifikasi merupakan jalan hidup kita. Hal tersebut membuat menjadi awal pemicu terjadi perang saudara dimana Ho Chi Minh yang ingin menyatukan Vietnam di bawah satu pemerintahan.
Konflik tersebut semakin tegang setelah negara-negara lain melakukan intervensi di dalam masalah Indocina itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada 19 Januari 1950 RRC (Republik Rakyat Cina) mengakui pemerintahan Viet Minh sebagai kekuasaan berdaulat di Vietnam. Lain halnya dengan Amerika Serikat dan Inggris yang secara resmi mengakui kekuasaan Bao Dai pada 6 Februari 1950 (Sudharmono, 2012). Hal tersebut semakin memperuncing perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Pada perang saudara tersebut yang Vietnam Utara ke luar sebagai pemenang perang di bawah gerakan FPNVS (Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan) atau yang biasa disebut dengan tentara Viet Cong (Sardiman, 1983: 35). Gerakan ini memiliki beberapa tujuan yaitu untuk melawan rezim Saigon di bawah kekuasaan negara imperialis Amerika Serikat, menciptakan Vietnam Selatan yang terhindar dari intervensi asing, ingin mempersatukan seluruh Vietnam serta ingin memperbaiki kehidupan sosial-ekonomi dalam bentuk revolusi sosial.
Kemenangan Vietnam Utara pada peperangan melawan rezim Saigon tersebut menjadikan Vietnam bersatu di bawah pimpinan Ho Chi Minh. Apabila dihubungkan dengan teori konfliknya Ralf Dahrendorf bahwa dalam konflik tersebut akan menimbulkan konsep kepentingan. Konsep kepentingan yang dimaksud dalam pandangan Ralf Dahrendorf ialah akan adanya golongan superordinat dan subordinat yang artinya adanya golongan yang menguasai dan dikuasai. Dalam hal ini Vietnam Utara di bawah kekuasaan Ho Chi Minh mencoba untuk memasukkan ideologinya yaitu komunis kepada Vietnam Selatan. Selain itu juga pemerintahan Ho Chi Minh akan dilakukan penyebarluasan pengaruh komunis dan re-edukasi kepada rakyat Vietnam Selatan. Kebijakan tersebut membuat para tentara atau rakyat Vietnam khusunya Vietnam Selatan yang berjuang melawan rezim Saigon pada waktu dan berjuang bersama Vietnam Utara, ketika telah mendapatkan kemenangan,  mereka malah dibuang dan dimasukkan ke dalam penjara. Akibatnya banyak dari mereka yang melarikan diri ke luar negeri agar tidak terkena dampak dari kebijakan tersebut.
Selain gejolak yang terjadi di dalam negeri, seperti yang dicita-citakan oleh Ho Chi Minh yang ingin menyatukan Vietnam dan negara sekitarnya di bawah pemerintahan Ho Chi Mih menimbulkan invasi yang dilakukan oleh Vietnam ke Kamboja dan Laos. Dalam usaha menaklukkan Laos, Ho Chi Minh tidak menemukan kesulitan yang berarti karena komunis memang telah berkuasa di Laos dengan pemimpinnya yang bernama Pathet Lao (TSM, 3 Juni 1990). Kemudian invasi dilanjutkan untuk menaklukkan Kamboja. Di kamboja, Vietnam tidak memperoleh kemudahan yang sama seperti halnya di Laos.
Kamboja pada saat itu dikuasai ole Khmer Merah yang menolak ajakan dari Ho Chi Minh. Penolakan tersebut memaksa Vietnam melakukan jalur militer atau kekerasan untuk menaklukkan Kamboja. Perang antara Vietnam dan Kamboja terjadi setelah invasi yang dilakukan oleh Vietnam terhadap Kamboja. Invasi tersebut mendapat kecaman dari negara-negara Asia Tenggara yang menginginkan suatu kawasan yang damai, aman dan netral.
Dibalik invasi yang dilakukan Vietnam ke Kamboja, selain ingin menaklukkan negara tersebut, ternyata mempunyai tujuan lain yaitu konflik sosial yang terjadi antara Vietnam dengan Kamboja (Apriani, 2012: 49). Konflik tersebut dipicu oleh pengalaman masa lalu yaitu ketika masih berbentuk kerajaan berhasil menguasai beberapa wilayah Kamboja pada masa kerajaan Hue. Ketika kerajaan Hue menguasai Kamboja, orang-orang Vietnam banyak yang bermigrasi ke Kamboja.
Konflik yang terjadi antara Vietnam dan Kamboja pada masa lalu semakin diperparah dengan ikut sertanya dua negara besar komunis yaitu RRC dan Uni Soviet dalam perang antara Vietnam dan Kamboja menimbulkan kekhawatiran pada rakyat Vietnam. Alasannya ialah memori kolektif yang dimiliki oleh rakyat Vietnam terhadap perang yang sebelumnya perang Indocina II melawan Vietnam Selatan yang dibantu oleh imperialis Amerika Serikat menimbulkan banyak korban. Keinginan dari rakyat Vietnam untuk hidup dengan tenang tidak kunjung tercapai. Ditambah lagi dengan kebijakan Ho Chi Minh dengan re-edukasinya tersebut menjadikan banyak rakyat Vietnam yang menderita.
Bagi rakyat Vietnam, daripada menjadi korban dari perang, lebih baik mereka meninggalkan negaranya. Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang Vietnam yang ingin mendapatkan hidup yang lebih tenang dan memilih meninggalkan negaranya. Dengan menggunakan perahu, mereka mengarungi Laut Cina Selatan dan masuk ke beberapa negara Asia Tenggara secara ilegal. Hal tersebut ternyata menimbulkan masalah untuk dunia internasional. Sehingga permasalahan orang-orang Vietnam ini menjadi tanggung jawab PBB.
     UNHCR sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam penyelesaian masalah pengungsi turut serta dalam menyelesaikan status para pengungsi Vietnam yang pada awalnya mencari suaka. Dalam hukum internasional mengenai pengungsi, latar belakang terjadinya pengungsi dibedakan dalam dua jenis yaitu pertama ialah pengungsi karena bencana alam (Natural Disaster) yang artinya pengungsi pada prinsipnya masih dlindungi oleh negaranya yang ke luar untuk menyelematkan jiwa mereka. Kedua ialah pegungsi karena bencana yang dibuat oleh manusia (Man Made Disaster) yang artinya ialah pengungsi ini ialah pengungsi yang kel uar dari negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya. Biasanya pengungsi ini ke luar dari negaranya karena alasan politik dan terpaksa meninggalkan negaranya dan orang-orang yang mengungsi ini tidak mendapat perlidungan dari negaranya (T.N, 1998: 4-5).
Menurut Harahap (2014: 7), Solusi yang ditawarkan oleh UNCHR kepada para pengungsi sebagaimaa yang tertera dalam pasal 1 Statuta UNHCR mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yaitu:
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
     Syarat yang diperlukan untuk pemulangan pengungsi secara sukarela ke negara asalnya adalah keamanan dan pulihnya perlindungan nasional. Jika keduanya belum ada, seringkali pemulangan pengungsi hanya bersifat sementara.
2) Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
     Pemindahan pengungsi ke negara ketiga ini merupakan alat perlindungan terhadap pengungsu yang hidup, kebebasan, keamanan, kesehatan dan hak fundamental lainnya menghadapi resiko di negara suaka. Resettlement merupakan bentuk berbagi beban dan tanggung jawab antara para peserta Konvensi 1951
3) Integrasi lokal
Dalam integrasi lokal, negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara permanen di wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi

Solusi yang ditawarkan untuk pengungsi Vietnam hanya dua yaitu resettlement (pengiriman ke negara ketiga) dan repatriation (pemulangan kembali ke negara asal). Untuk solusi yang ketiga yaitu integrasi lokal, para pengungsi yang berada di Pulau Galang tidak ada yang ditawarkan untuk solusi yang ketiga. Alasannya ialah karena tidak adanya tawaran dari pemerintah Indonesia kepada para pengungsi Vietnam untuk menjadi warga negara Indonesia. pemerintah Indonesia hanya menyediakan tempat untuk memproses para pengungsi sebelum dikirim ke negara ketiga ataupun dipulangkan kembali ke negara asal.
Dalam kasus pengungsi dari Vietnam ini terlihat jelas bahwa mereka meninggalkan negaranya karena adanya paksaan atau persekusi dari pemerintahan Ho Chi Minh. Pemerintahan Ho Chi Minh melakukan indoktrinasi atau penyebarluasan pengaruh komunis ke Vietnam Selatan yang pada saat dikuasai oleh Ngo Dinh Diem merupakan anti komunis. Sehingga dalam usaha untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Ho Chi Minh harus menggunakan jalur kekerasan agar cita-citanya tersebut dapat tercapai.
Ketika telah mendapat status pengungsi dari UNHCR, pengungsi tersebut hanya bersifat sementara yang artinya sewaktu-waktu status pengungsi tersebut dapat hilang. Dalam kasus manusia perahu Vietnam yang telah mendapatkan suaka, UNHCR bertanggung jawab penuh terhadap nasib para pengungsi tersebut. UNHCR melakukan pertemuan dengan dengan para Menteri Luar Negeri ASEAN yang diselenggarakan di Bangkok. Pertemuan pada tanggal 21 Februari 1979 tersebut menghasilkan Bangkok Statement (Poesponegoro, 2008: 625). Salah satu isi dari pertemuan di Bangkok tersebut ialah tiap negara-negara ASEAN membantu meringankan beban pengungsi dengan menyiapkan suatu tempat untuk penampungan sementara. Tempat penampungan sementara itu digunakan sebagai tempat tinggal sementara para pengungsi sebelum akhirnya akan dipulangkan kembali ke negara asal ataupun dikirim ke negara ketiga.
Untuk lebih memudahkan UNCHR dalam membantu mengatasi permasalahan pengungsi di ASEAN, maka konfrensi internasional yang dihadiri oleh 70 pemerintah mulai menggunakan pendekatan regional yang kemudian dikenal sebagai rencana aksi yang komprhensif atau Comprehensive Plan Action (Robinson, 2004: 320). CPA (Comprehensive Plan Action) ini merupakan kebijakan yang mempunyai ketergantungan dan komitmen antara negara-negara suaka pertama di Asia Tenggara yang memiliki tempat penampungan untuk pengungsi Vietnam. Kebijakan CPA juga ditujukan untuk mengurangi keberangkatan yang secara sembunyi-sembunyi serta mempromosikan migrasi legal yang pada akhirnya dilakukan penyaringan regional dan repatriasi.
Lima tujuan dari CPA ialah (1) untuk mengurangi keberangkatan pengungsi secara sembunyi-sembunyi, (2) menunjuk negara yang dijadikan suaka pertama untuk memproses para pengungsi hingga solusi untuk para pengungsi tersebut ditemukan, (3) untuk menentukan statusnya sebagai pengungsi sesuai standar dan kriteria internasional, (4) memberikan pelajaran dan keterampilan kepada para pengungsi untuk dikirim ke negara ketiga dan yang terakhir (5) untuk memulangkan kembali para pengungsi ke negara asal (Robinson, 2004: 320). Kebijakan CPA ini sangat membantu kerja dari UNHCR dalam menangani permasalahan manusia perahu Vietnam di Asia Tenggara serta dengan adanya kerja sama yang baik antara yang baik antara negara-negara ASEAN yang menerima para pengungsi Vietnam tersebut atas dasar kemanusiaan juga membuat kerja UNHCR tidak terlalu berat.
Masuknya manusia perahu Vietnam ke Indonesia ke beberapa pulau di wilayah Indonesia khususnya Kepulauan Riau menjadi suatu permasalahan bagi Indonesia. Indonesia menganut politik bebas aktif yaitu bebas untuk tidak memilih salah blok (non-blok) dan aktif dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Namun disini ada baiknya jika politik bebas aktif yang dianut Indonesia akan bijaksana apabila mengambil sikap akomodatif ke luar namun meningkatkan kewaspadaan yang lebih besar ke dalam negeri dalam menghadapi berkembangnya kekuatan komunis dan berusaha memberikan isi lebih konkrit kepada doktrin ketahanan nasional terutama melalui usaha peningkatan taraf hidup rakyat (Moertopo, 1976: 313).
            Selain itu, kedatangan manusia perahu Vietnam ke Indonesia membuat takut akan pengaruh komunis yang di bawa oleh para manusia perahu tersebut. Namun di lain sisi, kebijakan Indonesia di dalam ASEAN yaitu ZOPFAN membuat Indonesa berpikir “apakah harus menerima manusia perahu Vietnam tersebut atau tidak?”. Hal tersebut menjadi dilema bagi Indonesia. Namun pada akhirnya Indonesia pun menerima karena Vietnam merupakan negara yang berada di Asia Tenggara yang artinya masih saudara dengan Indonesia serta atas dasar kemanusiaan.
Indonesia yang menginginkan suatu keadaan yang tenang dan damai serta ingin mewujudkan perdamaian dunia khususnya di wilayah Asia Tenggara, Indonesia beranggapan dengan membantu manusia perahu Vietnam tersebut merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan kebijakan ZOPFAN tersebut di Asia Tenggara. Sehingga Indonesia mulai memberika bantuan kepada manusia perahu Vietnam yang masuk ke wilayah Indonesia.
Penyelesaian permasalahan pengungsi Vietnam juga tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam Di Indonesia. Dalam Keputusan Presiden jelas bahwa peran Indonesia dalam mengatasi permasalahan pengungsi Vietnam di Indonesia nyata. Indonesia menerima para pengungsi Vietnam selain kebijakan luar negeri yang dianut juga karena atas dasar kemanusiaan dan supaya terkoordinasi serta tidak mengganggu stabilitas nasional. Salah satu langkah awal yang dilakukan ialah mencari pulau untuk kamp sementara pengungsi selama processing. Pemerintah Indonesia membentuk sebuah tim untuk menangani permasalahan pengungsi Vietnam yang dinamakan P3V (Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi Vietnam). Tugasnya ialah mencari pulau untuk memproses para pengungsi. Setelah melakukan pencarian pulau, terpilih lah Pulau Galang sebagai tempat pengelolaan pengungsi.
Pemilihan pulau Galang sebagai tempat memproses para pengungsi Vietnam tersebut karena wilayah Pulau Galang merupakan tempat yang strategis dan memenuhi persayaratan yang sangat cocok sebagai tempat pemrosesan. Jika dilihat secara letak geografis, letak Pulau Galang bertetangga dengan negara Singapura dan Malaysia sehingga dapat memudahkan jalur komunikasi dan kerja sama antar negara tersebut selama masa memproses para pengungsi Vietnam. Selanjutnya mudah untuk menyalurkan pengungsi ke negara ketiga, wilayahnya cukup luas untuk pendirian kamp pengungsi, penduduknya sedikit serta tempat tersebut mudah dicapai demi keperluan bantuan logistik baik itu dari pemerintah pusat ataupun dari negara tetangga (Ismayawati, 2013: 16).
Dalam memproses para pengungsi, UNHCR memberikan dua pilihan kepada pengungsi yaitu pengiriman ke negara ketiga (resettlement) dan pemulangan kembali ke negara asal (repatriation). Pengungsi yang meninggalkan negaranya atas dasar untuk memperbaiki kehidupan perekonomiannya maka para pengungsi tersebut akan dipulangkan kembali ke negara asal. Kebanyakan pengungsi yang dipulangkan ke negara asal ialah pengungsi dari Vietnam Utara yang tidak ada unsur politik dalam latar belakang mereka mengungsi. Sedangkan pengungsi yang mengungsi karena adanya paksaan politik maka pengungsi tersebut akan dikirim ke negara ketiga untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Kebanyakan pengungsi dari Vietnam Selatan lah yang ditawarkan solusi resettlement oleh UNHCR.
Barak-barak sebagai tempat tinggal bagi pengungsi yang didirikan di Pulau Galang, juga terdapat fasilitas-fasilitas lain yang sengaja dibangun untuk menunjang kehidupan para pengungsi selama di sana. Fasilitas-fasilitas yang didirikan di Pulau Galang untuk memproses pengungsi seperti rumah sakit, sekolahan, pasar, tempat penampungan air, listik, rumah ibadah berbagai agama secara lengkap, pemakaman umum dan juga terdapat penjara bagi mereka yang melakukan kejahatan (Zainudin, 2013: 3). Wilayah Pulau Galang ini dibuat eksklusif yaitu tertutup dari dunia luar kecuali fasilitas rumah sakit yang dapat digunakan juga oleh masyarakat di luar pengungsi.
Fasilitas-fasilitas lainnya yang dibangun untuk keberlangsungan kehidupan para pengungsi seperti fitnes centre (tempat olahraga), youth centre (pelatihan untuk para remaja) dan pelatihan bahasa. Para pengungsi yang berada di Pulau menjalani kehidupan yang rutin. Pada pagi hari, para pengungsi belajar bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya yang merupakan syarat untuk dikirim ke negara ketiga (Barr, 2014: 7). Program pendidikan bahasa ini diatur oleh yayasan Save The Children and The Experimental in International Living (STC-EIL) yang dikontrak dan dibiayai oleh UNHCR. Selanjutnya siang hari hingga sore hari, para pengungsi mengikuti kegiatan yang diadakan di pelatihan keterampilan ataupun ada juga beberapa dari pengungsi yang melakukan olahraga. Sedangkan untuk malam harinya para pengungsi ada yang memnafaatkan waktu untuk berkunjung ke warung kopi ataupun menonton video (Ismayawati, 2013: 130). Namun meskipun begitu, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh para pengungsi mendapat perhatian dan dikontrol oleh TNI yang bertugas untuk mengamankan Pulau Galang dan menjaga keberlangsungan kehidupan para pengungsi.
Para pengungsi juga memiliki hari untuk berlibur yaitu pada hari minggu. Biasanya pada hari minggu ini, para pengungsi menghabiskan waktunya untuk rekreasi ke Pantai Melur yang lokasinya tidak telalu jauh dari kamp pengungsian. Selain itu ada juga yang beribadah ataupun mendalami program keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan dalam bentuk lukisan ataupun guci yang terbuat dari tanah liat. Seperti itulah kegiatan para pengungsi setiap harinya sebelum mendapat panggilan untuk dikirim ke negara ketiga.
Dalam kesehariannya, para pengungsi Vietnam ini dibiayai oleh UNHCR termasuk segala kebutuhannya perhari baik itu dari segi kebutuhan pokok seperti makan ditanggung oleh UNHCR. Mereka mendapatkan jatah perlima hari untuk tiap orang yaitu seperti beras, makanan dalam kemasan kaleng, mie, garam, gula pasir dan lain sebagainya (Lampito, T.T : 21). Keadaan tersebut terkadang menjadikan terjadinya suatu interaksi dalam bentuk barter yang dilakukan oleh para pengungsi dimana barang-barang yang diterima tersebut mereka jadikan uang dengan melakukan barter ataupun menjual kepada sesama pengungsi ataupun kepada penduduk asli untuk mendapatkan uang. Hal tersebut membuat terciptanya suasana seperti pasar.
            Selain kegiatan ekonomi, para pengungsi Vietnam ini juga mengikuti kegiatan sosial. Kegiatan tersebut merupakan inisiatif dari para pengungsi untuk mengisi waktu luang seperti menyibukkan diri bercocok tanam, mengikuti kegiatan pramuka, mengikuti pelatihan bahasa, dan lainnya. Para pengungsi Vietnam ini juga mengikuti upacara kemerdekaan Indonesia ketika 17 Agustus dan ikut memeriahkan dengan mengadakan lomba-lomba untuk mempererat persaudaraan diantara para pengungsi (Ismayawati, 2013: 126)
            Pulau Galang juga memiliki fasilitas-fasilitas keagamaan yang menunjang peribadatan para pengungsi yang memiliki kepercayaan. Gereja, Mushalla dan Pagoda merupakan tempat peribadatan bagi para pengungsi dan TNI yang bertugas di sana. Pembangunan gereja dan pagoda tersebut karena sebagian dari pengungsi Vietnam itu merupakan agama Buddha dan Kristen. Sedangkan Mushalla biasanya digunakan oleh para TNI karena penduduk muslim diantara para pengungsi dapat dikatakan sedikit.
Selain fasilitas keagamaan juga terdapat fasilitas olahraga yaitu fitness centre yaitu tempat pemusatan kebugaran bagi para pengungsi agar dapat menjaga kondisi fisik tubuhnya dan untuk terhindar dari penyakit. Kemudian terdapat youth centre yaitu tempat untuk pemusatan para remaja seperti melakukan kegiatan pramuka dan lain-lain. Selain itu, di youth centre juga diberikan pengajaran pengembangan kreativitas dan bakat yang dimiliki para pengungsi. Salah satunya ialah hasil dari kerajinan tangan para pengungsi yaitu berupa patung ataupun lukisan yang terpajang di museum Pulau Galang dan menjadi koleksi museum.
Dalam memproses para pengungsi, UNHCR memberikan dua pilihan kepada pengungsi yaitu pengiriman ke negara ketiga (resettlement) dan pemulangan kembali ke negara asal (repatriation). Pengungsi yang meninggalkan negaranya atas dasar untuk memperbaiki kehidupan perekonomiannya maka para pengungsi tersebut akan dipulangkan kembali ke negara asal. Kebanyakan pengungsi yang dipulangkan ke negara asal ialah pengungsi dari Vietnam Utara yang tidak ada unsur politik dalam latar belakang mereka mengungsi. Sedangkan pengungsi yang mengungsi karena adanya paksaan politik maka pengungsi tersebut akan dikirim ke negara ketiga untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Kebanyakan pengungsi dari Vietnam Selatan lah yang ditawarkan solusi resettlement oleh UNHCR. Keadaan tersebut menimbulkan permasalahan karena para pengungsi ingin dikirim ke negara ketiga dan tidak ingin dipulangkan, sehingga mereka yang tidak lolos penyaringan untuk dikirim ke negara ketiga melakukan kekacauan.
Pemerintah melihat keadaaan yang kurang kondusif tersebut mengambil tindakan yaitu dengan membentuk Kogas (Komando Tugas). Latar belakang pendirian Komando Tugas karena keadaan yang semakin tidak kondusif dalam hal untuk mengosongkan Pulau Galang. Pada tanggal 7 Mei 1996 diadakan Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan (Rakor Polkam) di Jakarta untuk membahas mengenai masalah pengungsi Vietnam dan diputuskan dibentuklah Komando Tugas (Kogas) (Djamhari, 2007: 47).
Tugas utama dari Kogas ini adalah untuk mempercepat pengembalian manusia perahu dari Pulau Galang dan Tanjung Pinang. Jumlah manusia perahu yang tersisa 4.570 orang yag pada umumnya rata-rata berasal dari kelompok aliran keras (mantan militer, politisi dan pelaku kriminal) yang cenderung menolak untuk dipulangkan ke negara asalnya. Apabila masalah tersebut tidak segera diselesaikan sampai batas yang telah ditentukan maka UNHCR akan menghentikan bantuannya dan pengungsi Vietnam tersebut menjai tanggung jawab dari negara asal yang kemungkinan akan menjadi beban nasional dan akan menimbulkan dampak negatif. Untuk itulah Kogas dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

KESIMPULAN
Latar belakang munculnya manusia perahu ini merupakan sesuatu yang terjadi akibat perang saudara antara Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan yang pada saat itu dimenangkan oleh pihak Vietnam Utara di bawah rezim Ho Chi Minh. Ketika berhasil memenangkan perang tersebut dimana Amerika Serikat ikut terlibat dengan membantu Vietnam Selatan, pemerintahan Ho Chi Minh melakukan apa yang disebut re-edukasi. Re-edukasi merupakan langkah yang diambil oleh pemerintahan Ho Chi Minh untuk menghapus pemikiran-pemikiran yang muncul di Vietnam Selatan yang berbeda dengan Vietnam Utara karena pengaruh dari Amerika Serikat sebelumnya sehingga banyak dari masyarakat Vietnam Selatan memilih untuk mengungsi dan meninggalkan negaranya karena adanya program re-edukasi tersebut serta terhindar dari perang yang akan terjadi antara Vietnam dengan Kamboja. Merekapun mengungsi menggunakan perahu untuk mengarungi lautan yang luas sehingga mereka disebut manusia perahu (boat people).
Peranan UNHCR (United Nations High Commissioner Refugees) sebagai lembaga PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bergerak menangani permasalahan pengungsi ini baru terlihat setelah adanya perundingan dari negara-negara ASEAN (Association of South East Nation) yang melihat permasalahan manusia perahu tersebut akan mengganggu stabilitas negaranya sehingga perlu adanya sikap untuk menangani permasalahan tersebut. Sedangkan peran dari pemerintah Indonesia sendiri ialah karena kebijakan politik yang dianut pada saat itu yaitu politik bebas aktif yaitu bebas untuk tidak memihak blok manapun dan aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. Salah satu langkah nyata yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut ialah membantu menyelesaikan permasalahan manusia perahu Vietnam.
Kehidupan para pengungsi di Pulau Galang tidak terlepas dari kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dan UNHCR. Ketika konstruksi pembangunan di Pulau Galang seperti pembangunan barak untuk pengungsi, tempat hiburan dan tempat ibadah selesai, para pengungsi pun dipusatkan di Pulau Galang. Selama berada di Pulau Galang, para pengungsi terisolasi dari dunia luar. Hal tersebut dilakukan agar para pengungsi tidak ada yang melarikan diri dari kamp pengungsian.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Arsip atau Dokumen
Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1979 Tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam Di Indonesia
Sumber Buku
Abdoelgani, R. (1978). Indocina Dalam Kawasan Asia Tenggara Dewasa Ini. Jakarta: Yayasan Idayu
Djamhari, S.A. (2007). Prajurit TNI Dalam Tugas Kemanusiaan Galang 96. Jakarta: Pusat Sejarah TNI
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press
Ismayawati, I. (2013). Manusia Perahu. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Lampito, O. (T.T). Galang: Memory of a Past Tragedy. Batam: Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
Moertopo, A. (1976). Studi Wilayah: Jilid Pertama. Jakarta: BAKIN
Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. (2007). Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
Sardiman AM. (1983). Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Sudharmono. 2012. Sejarah Asia Tenggara Modern : Dari Penjajahan Ke Kemerdekaan. Yogyakarta : Ombak

Sumber Skripsi atau Tesis
Apriani, R.D. (2013). Keterlbatan Uni Soviet Dan Republik Rakyat Cina Dalam Pendudukan Vietnam Di Kamboja 1978-1991. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Winarko, A. (2007). Perang Vietnam 1954-1975. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan
Sumber Artikel atau Jurnal
Robinson, W. Courtland. (2004). The Comprehensive Plan of Action for Indochinese Refugees, 1989-1997: Sharing the Burden and Passing the Buck dalam Journal of Refugees Studies. Oxford University Press 17, (3), 320
T.N. (1998). Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional.E-Journal Universitas Negeri Sebelas Maret,  45 (12), hlm. 2-3
Sumber Internet
Barr, G. (2014). Galang Refugee Camp Site I & Site II. [Online]. Tersedia: http://www.galangcamp.blogspot.com/ [4 Oktober 2014]
Harahap, H. (2014). Peranan UNHCR Dalam Melindungi Pengungsi Di Indonesia. [Online]. Tersedia: https://www.academia.edu/3774645/PERANAN_UNHCR_DALAM_MELINDUNGI_PENGUNGSI_DI_INDONESIA [7 September 2014]
Zainudin, A. (2013). Kisah Pilu 250.000 Pengungsi Vietnam di Batam. [Online]. Tersedia: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/03/30/kisah-pilu-250000-pengungsi-vietnam-di-batam-546473.html [5 Oktober 2014]
Sumber Majalah
Majalah TEMPO 28 Agustus 1982 “ Vietnam: Mereka Yang Tercampakkan”
TSM (Teknologi dan Strategi Militer), 3 Juni 1990 “Indocina Yang Senantiasa Bergejolak”


           




[1] Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, Wawan Darmawan S.Pd, M.Hum sebagai pembimbing I dan Drs. H. Ayi Budi Santosa M.Si sebagai pembimbing II, penulis dapat dihubungi no hp 085668787573 atau email kanzaki.rasyidi8@gmail.com

Kamis, 07 Maret 2013

Pendidikan di Perancis Abad 19-20 Masehi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan pada era globalisasi ini. Hal ini dikarenakan tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu bersaing dalam dunia yang semakin hari semakin kompetitif. Sehingga pendidikan itu perlu dijalani bagi setiap insan manusia agar dapat bersaing dan berkompetisi agar tidak ketinggalan dengan yang lainnya.
Sebelum membahas mengenai pendidikan lebih jauh, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu definisi dari pendidikan. Secara universal pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk mengembangkan ketrampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi warga negara yang baik, tujuannya untuk mengembangkan atau mengubah kognisi, afeksi dan konasi seseorang. Selain itu menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan itu ialah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (http://sro.web.id/pengertian-pendidikan.html). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu ialah suatu cara atau usaha sadar yang dilakukan oleh manusia menjadi manusia yang seutuhnya.
Di dalam artikel ini akan membahas mengenai perkembangan pendidikan di Perancis mulai dari akhir abad 19-20 Masehi. Dalam proses perkembangan pendidikan di Perancis ini menitikberatkan kepada penguasa karena penguasa yang sangat berperan dalam proses perkembangannya. Pendidikan di Perancis sudah dimulai sejak abad ke-12 dengan ditandai berdirinya University of Paris. Universitas tersebut menjadi tempat bernaungnya metode penyelidikan rasional yang dipergunakan dosen dan para mahasiswa untuk menolak teologi dan doktrin sosial negara teokrasi.
Perkembangan pendidikan di Perancis semakin dapat terlihat setelah Eropa mengalami masa Renaissance atau biasa disebut abad pencerahan dimana pada saat itu negara-negara Eropa termasuk Perancis sedang mengalami masa yang kelam atau gelap sehingga dengan adanya renaissance tersebut orang-orang mulai berpikiran rasional dan mulai meninggalkan dokrin-doktrin gereja.
Dengan mempelajari sejarah pendidikan di Perancis ini diharapkan dapat mengerti bagaimana fungsi pendidikan dalam keseluruhan kebudayaan. Selain itu dengan mengetahui sejarah pendidikan suatu tempat dapat menyadarkan bahwa pendidikan itu harus disesuaikan atau diselaraskan dengan perubahan-perubahan dalam keadaan pada saat itu, ilmu pengetahuan dan teknik.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan di Perancis
Perancis modern adalah Perancis yang dimulai dari pendirian Republik ketiga. Repbulik ketiga didirikan oleh elemen-elemen republik populasi setelah pasukan Prusia dibawah pimpinan Bismarck menghancurkan kekaisaran kedua pada 1870. Sebelumnya sudah ada dua sistem pemerintahan dalam bentuk republik. Ketiga sistem pemerintahan republik mendapat dari tentangan dari kaum monarki yang tetap setia pada teori bahwa kekuasaan adalah takdir dari tuhan. Kaum monarki menghimpun kekuatan dari pendukung keturunan bangsawan dan kalangan hirarki Gereja Katolik Roma. Dua kelompok ini telah memperlihatkan tendensi reaksioner kuat yang sesekali berhasil membatasi suara rakyat; keduanya tampil untuk mencoba mengembalikan pemerintahan monarki absolut. Maka, tak heran jika keduanya sama-sama tidak mendukung pendidikan umum yang bebas. Pendidikan pada masa sebelum republik ketiga lebih menitik beratkan pada pendidikan keagamaan dimana pemerintah memberikan kewenagan penuh kepada pihak gereja untuk mengadakan pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah dan gereja bersanding dalam menciptakan suatu pendidikan.
Kekuatan kaum republik terletak pada kelas menengah. Cita-cita ekonomisnya berupa suatu sistem kepemilikan tanah dalam jumlah kecil oleh individu penggarapnya, ditambah dengan sistem luas yang terdiri dari perusahaan pabrik kecil dan perusahaan komersial yang diperlukan untuk tukar-menukar produk toko dan pertanian dengan suatu cara yang menguntungkan bagi semua. Pandangan kelas menengah ini tentang kehidupan sudah bertumpu pada kebebasan individu; meskipun demikian, aparat pemerintah yang mendapat dukungan adalah sebuah majelis representatif yang dipilih oleh rakyat dan melaksanakan kedaulatan untuk rakyat. Kaum republik tidak kalah setianya dengan kaum monarko mengenai gagasan pemerintah yang terpusat secara kuat. Kedua golongan ini hanya dipisahkan oleh dasar-dasar filosofis yang mendasari pemerintah dan tentu saja instansi yang digunakan untuk menjalankan kebijakan sosial.
Dasar-dasar filosofis republik ketiga terbentuk selama masa pencerahan (Enlighment). Dengan menolak doktrin kembar kekuasaan karena takdir tuhan dan wahyu pribadi, kaum rasionalis berpaling pada metode logika induktif sebagai satu-satunya dasar yang valid untuk membangun masyarakat yang baik dan negara yang sebenarnya. Mereka mendukung pemerintahan representatif dan kontrol sekuler terhadap gereja. Dengan bertekad membuat pemerintah tunduk pada proses rasional, mereka tidak percaya bahwa kemampuan berpikir pada semua manusia adalah sama atau bahwa semua manusia mampu melakukan proses berpikir dengan benar. Oleh karena itu, kaum republik cenderung tidak mau menerima kelas pekerja sebagai golongan yang sederajat. Sebelum pemerintahan republik ketiga, kaum republik telah mendukung pembatasan hak suara bagi mereka yang membayar pajak. Slogan revolusioner “Liberty, Equality, and Fraternity (Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan)” tidak ditujukan untuk seluruh rakyat Perancis.
Di bawah pemerintahan republik ketiga, Lycee dan fakultas universitas negeri diambil alih untuk membentuk inti sistem sekolah menengah yang bertujuan untuk menemukan dan menghasilkan calon-calon pemimpin. Kendati teori warisan status kelas telah ditolak, sistem pendidikan masih sangat selektif. Sistem tersebut sudah memisahkan anak-anak menjadi dua kelas sejak hari pertama mereka masuk sekolah. Akhirnya, hak pilih dijadikan universal bahkan wanita berhak memilih untuk bersekolah setelah Perang dunia II tetapi biaya pendidikan di sekolah menengah tetap melanggengkan diskriminasi kelas.
Sistem pendidikan Perancis mencerminkan selektivitas yang juga terdapat pada pemerintahan dan kehidupan sosial lainnya. Rakyat Perancis menumpukan wewenang dalam pemerintahan kepada sebuah majelis nasional representatif yang terdiri dari dua majelis. Majelis pertama Chamber of Deputies yang dipilih langsung oleh rakyat, majelis yaitu Senat dipilih oleh electoral college (badan pemilih). Dengan bersidang sebagai suatu badan, kedua majelis berwenang memilih presiden. Tahun demi tahun, pentingnya jabatan presiden berlaku surut, dan tugas eksekutif diambil oleh seorang perdana menteri yang mengepalai kabinet menteri-menteri. Seluruh anggota kabinet berikut perdana menteri diangkat dan ditentukan masa jabatannya oleh kedua majelis dalam majelis nasional. Oleh karena itu, ada pelaksanaannya rakyat tidak memerintah sendiri karena mereka telah mendelegasikan kedaulatannya kepada deputi-deputi terpilih dan para elector (anggota electoral college) orang-orang yanbg secara teori berkualitas lebih baik untuk menjalankan kekuasaan secara rasional dibandingkan warga biasa.
Proses selektif juga diberlakukan pada beberapa partai politik. Kandidat-kandidat penjabat publik kini tidak lagi dicalonkan oleh mereka yang berkedudukan di distrik pemilihan, tetapi diajukan oleh kepemimpinan partai pusat kepada pemilih di distrik pemilihan tersebut. Oleh sebab itu, pemilih tidak memilih wakilnya sendiri tapi hanya menyetujui atau menolak partai yang menyiapkan platform dan daftar pilihan kandidat. Pemilih tidak diperkenankan memberikan suara untuk kandidat lebih dari satu partai, sebuah larangan yang memungkinkan para pemimpin partai menggunakan kontrol luas atas anggota-anggota partainya, juga atas wakilnya di majelis nasional.
Teori bahwa pemerintahan harus dijalankan oleh kelompok terpilih yang wewenang keputusannya telah ditertibkan lewat jalur studi formal yang ketat telah memberikan pengaruh kuat pada sistem pendidikan pendidikan Perancis. Orang-orang yang tidak termasuk dalam kelompok pilihan ini dan mereka merupakan golongan masyarakat mayoritas luas harus puas tidak hanya dengan kedudukan yang rendah dalam kehidupan tetapi juga dengan biaya pendidikan yang cenderung ditujukan agar mereka lebih menjadi pengikut daripada menjadi pemimpin.
B.       Struktur Kekuasaan dan Organisasi Administratif
Seperti para pendahulunya, Republik ketiga mendukung pemerintahan yang sangat terpusat. Sejarah politik Perancis memang telah mengajarkan rakyat Perancis untuk berharap agar hak alamiah dan kebebasan perseorangan dilindungi dengan lebih baik oleh instansi nasional daripada instansi daerah. Di masa lalu dan juga sekarang mereka dididik untuk membayar pajak kepada suatu perwakilan pemerintah di Paris dan membiarkan instansi pemerintah daerah untuk menuruti apapun yang diberikan pemerintah sebagai imbalan. Sebenarnya sebagian besar pejabat pemerintah daerah adalah pegawai kementerian dalam negeri tanpa loyalitas atau tanggung jawab khusus kepada daerah. Karena itu, ketika seorang warga kebanyakan mulai diganggu dengan suatu salah fungsi (malfunctioning) kecil dalam pemerintah daerah, kemungkinan besar ia lebih menuntut perubahan pada pemerintah nasional daripada mengajukan pengaduan kepada walikota atau dewan komunenya.
Administrasi kependidikan terkoordinasi erat dengan kegiatan kementerian dalam negeri. Sebelum itu, sudah dikembangkan organisasi pemerintahan sipil yang membagi seluruh Perancis menjadi tingkat-tingkat pemerintahan yang berjenjang yaitu department, arondissement, kanton dan komune dan masih berlaku sampai sekarang. Kementerian dalam negeri dikepalai seorang menteri yang duduk  dalam kabinet. Menteri tersebut memiliki sejumlah staf penting terdiri dari para asisten administratif dan karyawan yang kebanyakan adalah pegawai negeri berkedudukan tetap. Pada tiap departmen. Kementerian diwakili oleh seorang prefect (pengawas) yang diangkat atau bertanggung jawab lebih kepada kementerian daripada warga department. Namun setiap department memiliki sebuah dewan terpilih dan pengawas bisa berkonsultasi dengannya. Selanjtunya department dibagi lagi menjadi arondissement. Setiap arondissement memiliki seorang subprefect (semacam wakil pengawas). Di tingkat daerah terdapat komune yang dipimpin oleh walikota. Walikota juga diangkat oleh kementerian dan merupakan wakil pemerintah pusat.
Jadi walikota hanya melaksanakan kebijakan dan instruksi yang dibuat pada tingkat nasional daripada tingkat daerah. Hal ini dilakukan agar terjadi kesesuaian antara kebijakan nasional dengan kehendak daerah dan untuk hal ini walikota berkonsultasi dengan dewan komune terpilih. Besarnya komune berbeda-beda mulai dari desa pedalaman yang kecil sampai kota-kota besar. Paris mendapat status istimewa karena merupakan salah satu komune terbesar. Kanton ialah unit administratif antara komune dan arondissement terutama digunakan untuk tujuan militer. Sesekali kanton dipergunakan sebagai distrik sekolah pusat jika jumlah penduduknya terlampau sedikit sehingga pada komune-komune utama tidak dapat diselenggarakan di sekolah yang sebenarnya. Kanton juga digunakan sebagai distrik pemilihan dalam pemilihan-pemilihan tertentu.
Gambar Garis Otoritas Pendidikan di Perancis selama Masa Republik Ketiga
 








Tingkat Administrasi
Bawah

Sekolah Untuk Spesialis
 
Akademi
(a)
Rektor
 
 

Department
(b)
Dewan Universitas
 
 



Arrondissement
Sekolah Menengah Negeri (d)
 
 




Kanton
(c)

Walikota
 
Komune
Dewan Terpilih
 
Sekolah Menengah Kotapraja (e)
 
 




                                                                              Garis Otoritas Langsung
                                                                                                        Garis Otoritas Terbatas

a.       Hanya untuk universitas dan pendidikan menengah
b.       Terutama pendidikan dasar
c.        Untuk sekolah dasar terpadu
d.       Lycee                       e. College                              f. Ecoles Primaries Elementaries

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa garis otoritas untuk urusan sipil pada masa Republik ketiga bergulir dari rakyat melalui parlemen menuju kementerian, kemudian rantai kekuasaan administratif tersebut menurun dan berakhir pada walikota komune. Dari garis tersebut dapat disimpulkan bahwa individu hanya memiliki sedikit kontrol langsung atas pejabat pemerintah daerah. Elektorat dapat mengekspresikan pendapat hanya pada saat pemilihan nasional, itupun hanya dengan memilih kandidat yang disukai dari daftar pilihan yang diajukan para pemimpin sejumlah partai politik. Tahun-tahun belakangan ini, komisi penasihat pemilihan di tingkat komune dan department telah membuka lebih banyak saluran komunikasi, tetapi walikota dan prefect bukanlah wakil dari dewan tersebut dan juga tidak bertanggung jawab kepadanya.
Garis otoritas adminstrasi di bidang pendidikan dijalankan sejajar dengan garis otoritas administrasi kementerian dalam negeri. Dalam kasus pendidikan dasar, otoritas administrasi pendidikan tergantung pada fasilitas fisik dan pelaksanaan undang-undang sekolah pendidikan yang diberikan kementerian. Kerapkali menteri pendidikan umum bukanlah seorang pendidika profesional. Selama pemerintahan tempatnya bernaung masih dipercaya oleh parlemen, ia tetap menjabat sebagai menteri. Masa jabatan seperti ini baru dipersingkat pada masa terbentuknya pemerintahan de Gaulle. Satu-satunya yang bisa mencegah sistem pendidikan dari kehancuran adalah adanya suatu staf permanen di bawah pengangkatan pamong praja.
Kementerian pendidikan umum dibagi menjadi beberapa bidang administratif terpisah yaitu masing-masih dikepalai oleh seorang direktur. Bidang-bidang pendidikan tersebut meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan jasmani, pendidikan kejuruan, seni rupa dan pencatatan. Baru-baru ini fungsi departemen pencatatan diperluas hingga mencakup bermacam-macam tugas di bawah label adminstrasi umum. Setiap direktorat bertanggung jawab untuk mengimplementasikan segenap aspek kebijakan pendidikan dalam bidangnya masing-masing. Tanggung jawab tersebut meliputi menyiapkan dan memanajemen anggaran belanja, mendidik, memberikan ijazah, dan mengangkat guru, menyiapkan lokasi dan menginspeksi gedung sekolah, menyiapkan program studi, menginspeksi pekerjaan setiap guru secara teratur dan seksama, dan menyelenggarakan ujian dan menaikkan kelas setiap murid setidaknya pada titik peralihan utama dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
Kebijakan dirumuskan di tingkat nasional. Keseragaman kebijakan politik dan kualitas kinerja dijamin oleh dewan inspektur yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian dan sebuah sistem ujian eksternal yang dilaksanakan secara nasional. Sebuah dewan tinggi pendidikan umum bekerja pada kementerian pendidikan umum. Anggotanya terdiri dari para pemimpin terkemuka dan politisi muda ambisius yang dipilih oleh menteri atau kelompok profesional. Universitas diwakili oleh 27 orang anggota, sekolah menengah 10 anggota dan sekolah dasar 6 anggota. Semua bidang kebijakan yang mempengaruhi kurikulum, metode pendidikan, ujian, buku teks, pengawasan sekolah swasta dan hal-hal lain yang secara langsung berhubungan dengan pendidikan harus dikonsultasikan kepada dewan ini. Dewan juga bertindak sebagai pengadilan banding untuk kepentingan guru, kelompok swasta dan siapapun yang merasa dirugikan oleh tindakan kementerian atau pejabat daerah. Dewan tinggi pendidikan umum memang khusus dibuat untuk memposisikan semua pendidikan di bawah pengawasan kepemimpinan kelompok intelektual.
Bayang-bayang Imperial University Napoleon masih tampak pada sekolah menengah dan fakultas lanjutan. Meskipun direktorat untuk mengurus pendidikan menengah dan pendidikan tinggi terpisah di tingkat kementerian, progra studi dan cara pengelolaannya tetap berkoordinasi dengan erat. Akademi tetap menjadi unit administratif langsung di bawah kementerian untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, tetapi jumlahnya menyusut menjadi 17. Pejabat administratif utama pendidikan pada setiap akademi tetap rektor. Rektor bertanggung jawab atas penyelenggaraan lycee negeri dan dewan inspektur mengawasi pendidikan di college kotapraja dan semua sekolah menengah swasta.
 Sebagian besar pendidikan tinggi diserahkan pada fakultas-fakultas tersendiri dan seringkali terpencar-pencar secara geografis. Namun fakultas-fakultas pada suatu akademi tertentu diarahkan untuk saling berkoordinasi lewat sebuah dewan antar fakultas yang bekerja sama dengan rektor. Direktorat pendidikan negeri dalam kementerian diinstruksikan untuk mengembangkan rangkain fakultas yaitu struktur universitas yang utuh yang di setiap akademi dengan maksud untuk menyediakan sebuah sistem yang terdiri dari 17 universitas negeri untuk melayani seluruh bangsa. Biasanya pada akademi-akademi tersebut sudah ada satu fakultas atau lebih tetapi masing-masing dikelola sendiri-sendiri. Instruksi tersebut menghasilkan terbentuknya dewan-dewan universitas pada enam belas akademi dan dimulailah suatu gerakan untuk membangun universitas yang utuh pada setiap akademi. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena masih terdapat berbagai kendala.
C.      Institusi Pendidikan
Setiap direktorat di bawah kementerian pendidikan umum mengelola program pendidikannya sendiri secara terpisah terkecuali program pendidikan jasmani karena setiap program memiliki gedung sendiri yang tersebar di seluruh negeri dan memiliki pegawai yang berasal dari kader gurunya sendiri. Pola institusi ini dan jenis sekolah masing-masing berubah-ubah tiap tahun demi tahun.
Pendidikan dasar memperoleh perhatian yang lebih khusus pada masa republik ketiga ini terutama untuk menyusun sistem pendidikan untuk mendidik rakyat agar menjadi pendukung yang setia kepada pemerintahan dan memiliki keterampilan. Dasar hukum untuk pendidikan dasar ditetapkan dalam undang-undang pendidikan dasar (Primary Education Laws) tahun 1881 dan tahun 1886. Ketentuan dalam undang-undang tersebut antar lain menetapkan bahwa sekolah dasar negeri harus merupakan institusi sekuler dan wajib disediakan dalam jumlah tertentu sehingga setiap anak dapat mengakses salah satu sekolah dengan mudah. Meskipun pendidikan dijadikan tanggung jawab nasional dan semua anak diwajibkan hadir di sekolah, orang tua boleh memilih untuk menyediakan pengajaran anak-anak mereka secara privat atau di sekolah lain selain sekolah negeri yang diakui.
Sistem pendidikan dasar memiliki beberapa jenjang pengajaran yaitu dimulai dari taman kanak-kanak yang diprakarsai Froebel di Jerman tetapi komune yang lebih besar menghadirkan ecolles maternelles untuk anak-anak berusia antara dua sampai enam tahun. Sekolah-sekolah ini lebih tepat dikatakan sebagai sekolah sukarela karena boleh diikuti dan boleh tidak tetapi orang tua memanfaatkan kehadiran sekolah-sekolah tersebut secara penuh bila memang ada. Di komune berpenduduk kurang dari 2.000 jiwa terkadang disediakan classe enfantine dengan lama pendidikan satu tahun.
Pada usia 6 tahun, anak-anak dimasukkan pada sekolah dasar yang sesuai. Mereka bersekolah sampai masa wajib belajar berakhir atau pindah ke program pilihan. Sebelum masa perang dunia II, masa wajib belajar dimulai dari usia 6 tahun sampai 14 tahun. Seiring dengan tersedianya guru dan fasilitas maka wajib belajar pun diperluas secara bertahap. Dengan bertambahnya usia lulus sekolah, maka akan semakin banyak pula program pilihan yang ditawarkan setelah tahun ajaran keenam dan tahun ajaran ketujuh. Beberapa jenis sekolah dasar lanjutan didirikan dengan menawarkan program 3 tahun yang mempersiapkan penerimaan ke sekolah guru atau bekerja di bagian administrasi. Ketika kementerian pendidikan umum mulai tertarik dengan pendidikan kejuruan, murid-murid diberikan kesempatan memasuki sekolah keterampilan atau sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan ini hanya menawarkan program pendidikan satu tahun setelah mengikuti tahun ketujuh pada sekolah dasar sedangkan ada beberapa yang menawarkan program dua tahun, tiga tahun bahkan empat tahun. Untuk siswa yang berbakat lebih, sekolah khusus ini menawarkan pendidikan seni dan keterampilan dan tentunya hanya beberapa saja yang menawarkan pendidikan sampai jenjang tinggi.
Pendidikan kejuruan dalam bentuk-bentuk terbatas sudah ada sejak masa awal republik ketiga. Namun departemen pendidikan kejuruan belum dibentuk dalam kementerian sampai tahun 1929. Sebelum masa itu, kementerian telah mendirikan berbagai macam sekolah spesialis di bidang pertanian, kehutanan dan ilmu militer. Beberapa diantaranya masih berjalan tetapi ada tendensi yang semakin meningkat yang mengharapkan sekolah-sekolah di bawa direktorat pendidikan kejuruan menyediakan tenaga ahli di bidang perindustrian dan beraneka jenis pekerjaan perdagangan.  Oleh sebab itu, sekolah seni dan keterampilan, perdagangan, industri dan pekerjaan spesialis lainnya kini biasanya dianggap sebagai pendidikan kejuruan dan bisa dimasuki setelah tahun ketujuh pendidikan dasar.
Kemudian juga terdapat sekola menengah yang tersedia secara tradisional di sekolah negeri yang disebut lycee dan sekolah kotapraja yang disebut college. Dalam pelaksanaannya lycee lebih selektif sehingga memiliki reputasi sebagai yang lebih sempurna dan kualitas lulusannya terjamin. Sedangkan college cenderung mengakomodasi cita rasa pendidikan modern dan lebih cepat beradaptasi dengan permintaan umum warga kotapraja yang mendukungnya. Meskipun demikian kedua jenis sekolah ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk ujian baccalaureat sehingga mempersiapkan pula penerimaan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas.
Dalam perkembangannya, sekolah menengah bisa dimasuki melalui sekolah dasar terlebih dahulu. Namun terdapat jalur lain untuk masuk ke sekolah menengah dan cara ini lebih disukai oleh rakyat yaitu lewat classes preparatoire. Classes preparatoire adalah sekolah swasta yang memiliki perjanjian kerja dengan satu lycee atau lebih untuk menyakinkan para orang tua yang menjadi penyantunnya bahwa putra-putri mereka akan diterima di sekolah menengah.
Selanjutnya jenjang yang lebih tinggi yaitu pendidikan tinggi atau universitas. Pendidikan tinggi diselenggarakan dalam beberapa bentuk. Hampir semua akademi memiliki fakultas universitas jenis konvensional tetapi tidak semuanya mempunyai perangkat fakultas yang lengkap. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumbangsih universitas dalam bidang-bidang ini diperluas dengan meningkatkan daya tampung kelas pada fakultas-fakultas yang sudah ada ataupun menambah fakultas baru. Institusi baru yang dinamakan les Grandes ecole atau Great School (Sekolah Tinggi) ini juga gencar dipromosikan. Nama tersebut tentu saja lebih mengarah pada tingkat pendidikan daripada besarnya jumlah siswa. Great School berupa sekolah teknik dan sekolah semi-profesional dan lulusannya ini banyak diminta untuk menempati posisi-posisi menarik di bidang industri dan pemerintahan. Baik Great School mapun universitas bisa dimasuki lewat ujian baccalaureat tetapi penerimaan ke Great School juga terbuka bagi mereka yang berhasil menempuh ujian kompetitif khusus.
Pada masa republik ketiga ini, status dan reputasi sekolah guru juga ditingkatkan. Ecole normale superieure atau sekolah tinggi keguruan yang didirikan Napoleon I untuk mendidik guru sekolah menengah dijadikan bagian dari kelompok University of Paris. Meskipun demikian, sekolah guru yang mempersiapkan guru sekolah dasar dianggap sebagai pendidik menengah. Namun sekarang dikembangkan sekolah tinggi keguruan yang mempersiapkan staf pengajar untuk sekolah guru, inspektur sekolah dan posisi lain dalam administrasi pendidikan yang memerlukan pelatihan di luar pelatihan sebagai seorang guru di dalam kelas. Oleh karena itu kedudukan sekolah tinggi keguruan setara dengan dengan Great School dan dari hubungan dengan pendidikan tinggi inilah mulai terlihat kemungkinan adanya transisi atau peralihan dari sistem pendidikan dasar ke sistem pendidikan menengah dan sistem pendidikan perguruan tinggi.
Kemudian juga disediakan sekolah khusus seni, musik dan drama yang direkomendasikan oleh direktorat seni rupa. Orang-orang yang berbakat luar biasa dapat memasuki sekolah-sekolah ini dari sistem pendidikan cabang manapun tetapi tidak ada titik tertentu tempat terjadinya proses perpindahan yaitu baik proses penerimaan maupun lamanya masa studi karena itu semua tergantung pada bakat siswa dan kemajuan yang dicapainya.
D.      Perkembangan dan Hambatan dalam Pendidikan di Perancis
Dalam sistem pemerintahan republik ketiga terdapat struktur rangkap atau struktur dua kelas dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan. Anak-anak mulai bersekolah di sekolah dasar atau sekolah persiapan kemudian berlanjut sesuai jalur yang dipilihkan bagi mereka sampai peluang yang tersedia habis. Karena peluang-peluang dalam kedua sistem ini berbeda jauh maka status anak di masa depan dilihat dari kedudukan sosial, situasi ekonomi, peluang kerja dan posisi yang kelak dapat ditempatinya dalam pemerintahan sebagian besar sudah ditentukan sejak anak masi berusia masih 6 tahun.
Teori politik Perancis menyatakan bahwa semua hal yang mempengaruhi kesejahteraan umum harus diselesaikan dengan logika induktif formal yaitu suatu proses pemikiran yang hanya bisa disempurnakan melalui pendidikan ketat. Ketika sikap filosofis ini diakui, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi berubah bentuk menjadi intuisi yang menyediakan disiplin intelektual tersebut dan kaum republik tahun 1870 ingin menyerahkan kontrol-kontrol sosial sebanyak mungkin ke tangan lulusan institusi-institusi ini. Oleh karena itu republik ketiga ini memandang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai program pelatihan untuk elite intelektual. Pemikiran ini menganggap calon-calon pemimpin perlu sedini mungkin dipisahkan dari orang kebanyakan karena siswa-siswa selalu diseleksi dengan sangat ketat, karakter dan program lycee, college, dan universitas tidak berubah secara signifikan dan kondisinya semasa masih di bawah pemerintahan monarki yang diperkirakan kebutuhan negara akan pemimpin yang berkualitas akan terpenuhi selama institusi-institusi ini masih memiliki siswa.
Keadaan demikian terus berlangsung selama perang dunia I. Namun dikalangan prajurit sedang merebak suatu sikap yang lebih demokratis yaitu para prajurit yang datang dari segala lapisan masyarakat dari seluruh daerah Perancis yang dipaksa hidup dengan kedudukan sederajat satu sama lain dan berjuang bahu-membahu ini, berpendapat bahwa hambatan yang cenderung memisahkan mereka dalam kehidupan sipil kebanyakan merupakan hambatan artifisial. Sistem pendidikan rangkap tersebut menjadi indikasi sebagai penyebab utama perpechan sosial.
Pada akhir program sekolah dasar, siswa diklasifikasikan menurut kemampuannya bukan berdasarkan status orang tua. Semua siswa yang memenuhi syarat akan berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Namun dengan adanya sistem seperti mendapat kecaman dari masyarakat karena masyarakat menilai itu sama saja dengan melakukan diskriminasi sosial. Namun pemerintah Perancis mengambil kebijakan yang memberikan beasiswa kepada siswa yang berprestasi tetapi tidak mampu dibandingkan harus meniadakan biaya sekolah.
Sulitnya masyarakat untuk memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mengakibatkan masyarakt memberikan kecaman terhadap diskriminasi atas ujian baccalaureat dan ujian lainnya yang menunjukkan semakin banyak rakyat yang menuntut kesempatan untuk belajar di jenjang universitas. Universitas benar-benar dalam keadaan tertekan dimana universitas dimina untuk memperluas jumlah mahasiswa dan kontribusinya terhadap masyarakt. Direktorat pendidikan tinggi yang bekerja melalui rektor secara bertahap telah mencapai koordinasi yang lebih baik dengan fasilitas pendidikan tinggi di tiap akademi. Standar masuk yang seragam mulai diberlakukan dan kementerian pendidikan umum megambil alih hak eksklusif untuk memberikan ijazah dan gelar. Sebagai imbalannya, universitas menerima lebih banyak sumbangan dan semua profesor dijadikan pegawai negeri. Mereka kini diangkat oleh kementerian dan dipromosikan atau diberhentikan oleh kementerian dan digaji melalui kas negara.
Dalam pendidikan di Perancis juga disinggung sedikit mengenai pendidikan wanita. Wanita-wanita di Perancis mendapat hak untuk mengenyam pendidikan setelah perang dunia II. Sebelumnya peran mereka dalam kehidupan publik tidak begitu diperhatikan dan peluang untuk merasakan pendidikan terbatas. Kemudian didirikanlah college dan lycee dalam jumlah terbatas sehingga memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau universitas. Meskipun wanita dapat merasakan pendidikan tinggi tetapi mereka tidak diproyeksikan untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Biasanya hanya ditempatkan sebagai tenaga pengajar di pendidikan dasar, bahkan dalam pelaksanaannya tetap saja lelaki mendapat perlakuan yang istimewa dari pemerintahan sehingga ini bisa dikatakan sebagai diskriminasi antara perempuan dengan lelaki.
Dalam menghadapi permasalahan mengenai kesempatan mendapatkan pendidikan, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan untuk memperluas kesempatan anak-anak dari semua kelas untuk meneruskan pendidikan selepas program dasar utama. Perpanjangan wajib hadir di sekolah sampai usia 16 tahun berarti diperlukan sekolah dan program-program baru. Penekanan tradisional pada pelajaran-pelajaran klasik semakin diperluas dengan memasukkan mata pelajaran yang berguna untuk anak laki-laki dan perempuan yang berencana mencari pekerjaan di lapangan industri atau perniagaan. Semua program pada jenjang pasca pendidikan dasar mulai dianggap sebagai pendidikan menengah dan ilmu ekonomi sederhana menghendaki beberapa program ditempatkan dalam wadah yang sama, wadah yang tadinya hanya berisi program klasik atau program modern. Dalam masa transformasi ini, nama sekolah dasar lanjutan diubah menjadi college. Perubahan nama tersebut menjadi suatu indikasi besarnya perkembangan yang dialami pendidikan menengah.
Hal yag paling revolusioner dari segalanya adalah pengumuman bahwa ujian umum yang sebelumnya diselenggarakan untuk anak-anak pada tahun terakhir mereka bersekolah di sekolah dasar ditiadakan dengan alasan eksperimen. Sebagai gantinya, akan ada suatu sistem bimbingan di bawah pengawasan komisi khusus yang anggotanya diangkat dari para inspektur sekolah dasar dan sekolah menengah pada distrik yang dilayani komisi tersebut. Anak-anak usia 11 dan 12 tahun yang telah mengikut program sekolah dasar umum dan orang tuanya menghendaki mereka masuk ke bentuk keenam atau kelas terendah dari pendidikan menengah dimasukkan ke kelas observasi. Di kelas ini mereka akan diobservasi selama berbagai periode waktu. Periode observasi biasanya berlangsung selama dua tahun dan semua siswa akan mengikuti program studi umum. Selain itu prestasi siswa akan dipantau dan dievaluasi bakatnya untuk menentukan program khusus yang paling tepat untuk masing-masing siswa.
 Kemudian ketika Perancis memilik daerah koloni di Afrika, Perancis mengambil kebijakan doktrin asimilasi yang merupakan integrasi diantara negara-negara jajahan yang ada di seberang laut dengan Perancis. Kemudian adanya ide “penggabungan” dimana ide ini dikembangkan sebagai dasar kebijaksanaan pendidikan. Dalam koloni Perancis ini ada suatu sistem sekolah dimana dalam proses pengajarannya menggunakan bahasa Perancis mulai dari pengajaran dalam kelas hingga kurikulum yang berlaku menggunakan bahasa Perancis. Sekalipun demikian, pendidikan Perancis di Afrika memiliki perbedaan dengan pendidikan di Perancis itu sendiri. Pertama Perancis juga sama seperti Inggris yaitu mengikuti pola kebijaksanaan kolonial yang menguntungkan diri sendiri dalam artian bahwa jumlah sekolah yang tersedia dirubah secara besar-besaran dari daerah ke daerah. Kedua, khusus bagi kelompok elite, pendidikan melatih siswa untuk menduduki suatu jabatan yang di dalamnya ada keperluan khusus. Ketiga, ijazah yang diberikan walaupun sama dengan ijazah orang-orang Perancis namun tetap memiliki ciri tertentu sebagai milik penduduk jajahan oleh karenanya baik nilai ekonomi maupun nilai sosialnya tidak sama.
Sejak Perancis memulai ekspani pendidikan secara cepat di seluruh jenjang pendidikan dalam daerah Afrika sebagai koloninya, pendidikan kejuruan dan pendidikan pertanian merupakan hal yang paling gencar dilaksanakan atau diikuti. Dalam hal ini pemerintah Perancis memberikan sokongan berupa uan bantuan langsung yaitu dengan memperbesar beasiswa bagi siswa-siswa bangsa Afrika untuk belajar di Perancis.






BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan tentang pendidikan di Perancis dapat disimpulkan bahwa, dalam perkembangan pendidikannya tidak lepas dari kekuasaan sang penguasa. Dalam hal ini penguasa yang seluruhnya mengatur jalan kebijakan pendidikan sehingga pemerintah daerah hanya mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pendidikan yang ada di Perancis dimulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan di Perancis ditujukan untuk mengisi pos-pos pekerjaan yang kosong dalam pemerintahan
Banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam keberlangsungan pendidikan di Perancis. Salah satunya adalah didirikannya sekolah kejuruan dimana sekolah kejuruan ini didirikan untuk menampung siswa-siswa yang memiliki bakat atau spesialisasi pendidikan. Kemudian terdapat beberapa hambatan dalam berlangsugnya proses pendidikan di Perancis yaitu kurangnya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi sehingga timbul kecaman dan protes dari rakyat. Sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan kesempatan bagi semua rakyat untuk mengenyam pendidikan sampai pendidikan tinggi.








DAFTAR PUSTAKA

Thut, I.N dan Don Adams. (2005). Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djumhur dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bandung
Kadir, Sardjan dan Umar Ma’sum. (1982). Pendidikan Di Negara Sedang Berkembang. Surabaya: Usaha Nasional
Meyer, Adolphe E. (1965). An Educational History of The Western World. United States: McGraw-Hill Book Company
----------. (2013). Pengertian Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://sro.web.id/pengertian-pendidikan.html [28 Februari 2013]