MANUSIA
PERAHU:
Kajian
Historis Terhadap Pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1979-1996
Oleh
Omet
Rasyidi, Wawan Darmawan, Ayi Budi Santosa[1]
ABSTRACT
The
emergence of Vietnamese boat people is inseparable with
the circumstances
occurred in Vietnam. The situation is not safe politically and
the safety of the
people of Vietnam, especially South Vietnam, that iserratic, resultingin
the displacement
carried out by the Vietnamese to several countries around Southeast Asia such
as Thailand, Philippines, Malaysia, Singapore and Indonesia. The Vietnamese
refugees are also called the boat people as they explore the sea by boat. The
arrival of the refugees becomes an
internal problem for the South East Asia countries. To overcome these problems,
a meeting was held between
the Minister of Foreign Affairs of Southeast Asian countries to address and
find solutions to the problems of the Vietnamese boat people. The results of
the meeting formulated
some of the decisions contained in the Statement of Bangkok,as one of the countries of Southeast
Asia who was
visited by the
Vietnamese refugees,
which provides a place
to manage the refugees and the UN agency UNHCR (United Nations High
Commissioner for Refugee) that is in
charge of the refugee problem. They are actively
participating in solving these problems. For Indonesia itself, the government
provides Galang Island as
the place to manage
the refugees. The selection
of Galang Island is due to its strategic location adjacent to neighboring
countries such as Malaysia and Singapore, so it can facilitate the communication
process between the countries that became
the first asylum. Since becoming a place for refugees, Galang Island was turned
into a town with facilities that can support the sustainability of the lives of
the refugees
such as
barracks, markets, schools, hospitals, places of worship, sports
hall and so forth. The
construction of these
facilities is intended to facilitate the management of the
refugees before they
are sent to a third country. For those who are not sent to a third country, the
refugees were sent back to their home countries.
Keywords:
boat people, refugees, Galang Island
ABSTRAK
Munculnya
manusia perahu Vietnam tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang terjadi di
Vietnam itu sendiri. Keadaan yang tidak aman secara politis serta keselamatan
masyarakat Vietnam khususnya Vietnam Selatan yang tidak menentu mengakibatkan
terjadinya pengungsian yang dilakukan oleh masyarakat Vietnam ke beberapa
negara di sekitar Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura
serta Indonesia. Para pengungsi Vietnam ini disebut juga dengan manusia perahu
karena mereka mengarungi lautan dengan menggunakan perahu. Kedatangan para
pengungsi tersebut menjadi permasalahan internal bagi negara-negara Asia
Tenggara. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diadakan pertemuan antar
Menteri Luar Negeri negara-negara Asia Tenggara untuk mengatasi dan mencari
solusi terhadap permasalahan manusia perahu Vietnam tersebut. Hasil dari
pertemuan tersebut merumuskan beberapa keputusan yang tertuang dalam Bangkok Statementyaitu salah satunya
negara-negara Asia Tenggara yang disinggahi oleh para pengungsi Vietnam
menyediakan sebuah tempat untuk mengelola para pengungsi tersebut dan badan PBB
yang bertugas menangani masalah pengungsi yaiu UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugee) ikut aktif dalam
menyelesaikan permasalah tersebut. Untuk Indonesia sendiri, pemerintah
menyediakan Pulau Galang sebagai tempat pengelolaan para pengungsi tersebut.
Pemilihan Pulau Galang dikarenakan lokasinya yang strategis yaitu berdekatan
dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sehingga dapat memudahkan
proses komunikasi diantara negara-negara menjadi suaka pertama. Sejak menjadi
tempat untuk para pengungsi, Pulau Galang pun berubah menjadi sebuah kota
dengan fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang keberlangsungan kehidupan para
pengungsi seperti barak-barak pengungsi, pasar, sekolah-sekolah, rumah sakit,
tempat peribadatan, gedung olahraga dan lain sebagainya. Pembangunan
fasilitas-fasilitas tersebut ditujukan untuk mempermudah pengelolaan pengungsi
sebelum dikirim ke negara ketiga. Bagi mereka yang tidak dikirim ke negara
ketiga, para pengungsi dipulangkan kembali ke negara asal.
Kata kunci: manusia perahu, pengungsi, Pulau Galang
PENDAHULUAN
Negara Vietnam
merupakan salah satu negara yang ada di Asia Tenggara yang memiliki sejarah
panjang dalam usaha meraih dan mempertahankan kemerdekaannya. Sejarah panjang
tersebut dimulai dari usaha yang dilakukan Vietnam untuk memperoleh kemerdekaan
dari Perancis. Politik yang dijalankan oleh Perancis itu mengakibatkan
terjadinya perlawanan rakyat Vietnam untuk mengusir Perancis dari wilayahnya.
Namun perlawanan-perlawanan tersebut dilakukan tanpa adanya kekompakan karena
kejelian dari Perancis yang melakukan politik divide and rule untuk memecah belah perlawanan serta perjuangan
merebut kemerekaan tersebut terpecah ke dalam 2 kelompok besar yaitu kelompok
nasionalis dan kelompok komunis yang sulit untuk disatukan. Namun pada perkembangan
selanjutnya kelompok komunis yang menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan Vietnam
(Sardiman, 1983: 7).
Setelah perang
kemeredekaan melawan Perancis yang disebut perang Indocina I, kemudian
dilanjutkan dengan perang saudara antara Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan
yang disebut perang Indocina II serta perang yang terjadi akibat invasi Vietnam
ke Kamboja disebut perang Indocina III. Keadaan yang selalu berada dalam perang
menjadikan situasi tidak aman yang dirasakan oleh masyarakat Vietnam dan keselamatan
merekapun tidak terjamin. Keadaan yang seperti itu menimbulkan inisiatif dari
masyarakat Vietnam untuk meninggalkan negaranya. Namun, tidak hanya faktor
perang saja yang menimbulkan pemikiran dari masyarakat Vietnam Selatan untuk
mengungsi, tetapi juga karena adanya re-edukasi (semacam indoktrinasi) yang
merupakan kebijakan pemerintahan Ho Chi Minh (Ismayawati, 2013: 1).
Kebijakan
re-edukasi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh pemerintah Ho Chi Minh
untuk menyebarkan pengaruh ideologi komunisnya di Vietnam Selatan. Kebijakan
tersebut dinilai harus dilakukan karena Vietnam Selatan sebelumnya berada dalam
pengaruh Amerika Serikat yang memiliki ideologi yang berbeda dengan Vietnam
Utara yang bukan tidak mungkin bahwa pengaruh dari Amerika Serikat tersebut
telah menyebar dan mempengaruhi pemikiran dari rakyat Vietnam Selatan. Seperti
kata pepatah klasik yang menyebutkan bahwa revolusi
selalu menelan anak-anaknya sendiri (TEMPO, 28 Agustus 1982). Maksud dari
pernyataan tersebut ialah para tentara atau rakyat Vietnam khusunya Vietnam
Selatan yang berjuang melawan rezim Saigon pada waktu perang saudara di
Vietnam, mereka malah dibuang dan
dimasukkan ke dalam penjara. Akibat dari adanya kebijakan re-edukasi tersebut, banyak
rakyat Vietnam yang melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari nasib yang buruk
yang akan menimpa mereka.
Selain adanya
penerapan kebijakan re-edukasi, terjadi pula konflik antara Vietnam dengan
Kamboja. Konflik tersebut muncul karena cita-cita dari Ho Chi Minh untuk menyatukan
Indocina dalam pemerintahannya. Hal tersebut ditentang oleh Kamboja yang pada
saat itu dipimpin oleh Pol Pot yang berasal dari bangsa Khmer. Pol Pot
merupakan seorang yang anti-Vietnam seperti kebanyakan bangsa Khmer lainnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Luar Negeri Indonesia yang dikutip oleh Apriani (2012: 49) yaitu :
Perasaan anti Vietnam yang dirasakan dalam hati
bangsa Khmer sangat mungkin disebabkan oleh pengalaman masa lampau, dan pula
oleh Vietnam yang secara langsung berbatasan dengan Kamboja (dan karenanya
dapat menjadi ancaman langsung). Kehidupan orang-orang Khmer juga tidak sebaik
orang-orang kelompok etnis Vietnam. Angka buta huruf begitu menyedihkan yaitu
sekitar empat puluh lima persen jumlah penduduk pribumi Kamboja masih belum
bisa membaca dan menulis.
Tidaklah mengherankan apabila Pol Pot menolak
dari ajakan dari Ho Chi Minh untuk bersatu.
Kedatangan pengungsi dari Vietnam ini menjadi permasalahan bagi
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Khusus untuk
Indonesia, dalam menangani permasalahan pengungsi Vietnam, dihadapkan pada
prinsip yang melihat suatu kerja sama regional maupun internasional demi
peningkatan ketahanan nasional dan ketahanan regional, dan melalui kerja sama
ini ikut menciptakan perdamaian dunia pada umumnya dan perdamaian di Asia Tenggara
pada khususnya yang disebut ZOPFAN (Zone,
of Peace Freedom and Neutrality) (Moertopo, 1976: 76). Dari prinsip
tersebut, jelas bahwa Indonesia menerima para pengungsi Vietnam dan
mengesampingkan permasalahan ideologi yang dibawa oleh para pengungsi tersebut.
Indonesia ingin menciptakan suatu perdamaian khususnya di Asia Tenggara dan berusaha
untuk menyelesaikan permalasahan yang terjadi di Vietnam.
Usaha yang
pertama dilakukan oleh Indonesia ialah mencari tempat untuk penampungan para
pengungsi Vietnam (Ismayawati, 2013: 15-16). Syarat utama yang menjadi acuan
dalam pemilihan tempat sementara untuk pengungsi yaitu wilayahnya cukup luas,
mudah untuk menyalurkan ke negara ketiga, mudah memisahkan antara penduduk
setempat dengan pengungsi dan mudah dicapai untuk bantuan logistik demi
kelancaran pembangunan kamp pengungsi serta berdekatan dengan negara tetangga
yang menerima pengungsi seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Flipina.
Pencarian itu akhirnya menetapkan Pulau Galang yang merupakan suatu pulau
sedikit penduduknya sebagai tempat tinggal untuk para pengungsi.
Berdasarkan
pemaparan di atas, peneliti tertartik untuk mengkaji bagaimana kehidupan
pengungsi Vietnam selama berada di Pulau Galang baik secara sosial maupun
ekonominya. Kehidupan para pengungsi yang tidak terlepas dari peran UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee)
ataupun pemerintah Indonesia sendiri, oleh karena itu peneliti mengangkat
permasalahan “Kehidupan Pengungsi
Vietnam di Pulau Galang 1979-1996”. Peneliti mengambil tahun 1979 sampai
1996 karena pada tahun tersebut para pengungsi mulai dipusatkan di Pulau Galang
untuk dipersiapkan dikirim ke negara ketiga atau dikembalikan kembali ke
negaranya hingga akhirnya Pulau Galang harus dikosongkan sesuai dengan
kesepakatan yang dilakukan oleh UNHCR dan negara-negara Asia Tenggara yang
menjadi negara suaka pertama.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah metode historis. Metode ini digunakan oleh
peneliti karena peneitian ini merupakan kajian sejarah yang data-datanya
diperoleh dari jejak-jejak yang ditinggalkan dari suatu peristiwa masa lampau.
Metode historis menurut Gottschalk (1986: 32) adalah proses menguji dan
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan, kemudian menuliskannya
berdasarkan fakta yang diperoleh. Sedangkan menurut Ismaun (2005: 34), metode
historis terdiri dari empat langkah yaitu heuristik (pengumpulan sumber),
kritik (kritik eksternal dan internal), interpretasi (penafsiran) dan
historiografi.
Pada tahap heuristik,
peneliti melakukan pencarian sumber mengenai permasalahan yang dikaji di
beberapa perpustakaan seperti perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia,
perpustakaan Jurusan Pendidikan Sejarah, perpustakaan Museum Konfrensi
Asia-Afrika, perpustakaan Batoe Api, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta
beberapa perpustakaan universitas lainnya yaitu perpustakaan Universitas
Parahyangan dan perpustakaan Universitas Padjadjaran. Untuk pencarian
sumber-sumber yang relevan di internet, peneliti mencari beberapa jurnal
ataupun artikel dari beberapa website seperti Oxford University Press jurnal-jurnal terbitan dari beberapa
universitas. Selain itu, peneliti juga mencari skripsi atau tesis yang
dipublikasikan yang relevan dengan yang dilakukan oleh peneliti.
Setelah melakukan
heuristik, peneliti melakukan kritik. Kritik dilakukan dengan tujuan untuk
meminimalisir subjektivitas dalam penulisan sejarah. Peneliti melakukan kritik
eksternal terhadap sumber-sumber buku yang didapatkan pada tahap heuristik. Kritik
eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek
“luar” dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Peneliti menemukan sumber
primer yaitu Surat Keputusan Presiden Nomor 38 tentang Koordinasi Penyelesaian
Masalah Pengungsi Vietnam di Indonesia. Kritik eksternal terhadap sumber
tertulis bertujuan untuk menilai kelayakan sumber sebelum mengkaji isi
sumbernya itu sendiri. Dalam proses kritik eksternal ini, peneliti beranggapan
bahwa sumber keputusan presiden ini merupakan salah satu sumber primer yang
digunakan oleh peneliti dalam penulisan skripsi ini karena selain merupakan
sumber yang sezaman dengan penelitian yang dilakukan. Jika dihubungkan dengan
yang dimaksud dengan kritik eksternal yaitu sumber yang diklasifikasikan harus
otentik dalam artian berada dalam periode yang sezaman dengan apa yang diteliti
serta merupakan perintah langsung dari Presiden Indonesia pada saat itu yaitu
Soeharto. Otentik yang dimaksud disini ialah bahwa sumber tersebut dapat
melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang tampaknya benar. Dalam hal
ini peneliti mencoba untuk menghubungkan surat keputusan presiden dalam tindak
lanjut masuknya manusia perahu Vietnam ke Indonesia.
Setelah melakukan
kritik eksternal, peneliti melakukan kritik internal. Menurut Sjamsuddin (2007:
143) kritik internal menekankan aspek “dalam”, yaitu isi dari sumber kesaksian
(testimoni). Peneliti melakukan kritik internal terhadap buku-buku yang
memaparkan mengenai sejarah Vietnam yang mengakibatkan terjadinya pengungsian
dan keadaan pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Semua buku tersebut memaparkan
hal yang sama mengenai terjadinya pengungsian yang dilakukan oleh rakyat
Vietnam, yang membedakan hanyalah kedalaman dari materi dan kejelasan yang
dipaparkan. Misalnya buku Indonesia Dalam
Arus Sejarah yang ditulis oleh Taufiq Abdullah dkk yang memaparkan mengenai
sejarah Indonesia dari zaman orde baru hingga reformasi, materi yang dipaparkan
lebih mendalam yang berkaitan dengan pengungsi Vietnam di Pulau Galang
dibandingkan dengan buku Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI Edisi Revisi yang memaparkan mengenai sejarah Indonesia
dari orde baru hingga berakhirnya zaman orde baru. Namun materi mengenai
pengunsi Vietnam tidak begitu mendalam dan jelas.
Selanjutnya adalah
tahap interpretasi. Dari semua fakta-fakta yang ada sangat jelas bahwa peran
dari dunia internasional dalam hal ini UNHCR dan pemerintah Indonesia
memberikan kontribusi dalam kehidupan para pengungsi Vietnam di Pulau Galang.
semua fakta tersebut disertai penjelasan mengenai bukti-bukti nyata yang
dilakukan oleh UNHCR dan pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan
pengungsi Vietnam. Jadi peneliti menafsirkan bahwa kehidupan para pengungsi
Vietnam di Pulau Galang tidak terlepas dari kebijakan yang telah dibuat dan
disepakati oleh UNHCR dan Indonesia.
HASIL
PENELITIAN
Latar belakang adanya
manusia perahu ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi politik di Vietnam
yang pada saat itu sedang mengalami peperangan yang berkelanjutan. Pertama
ialah perang rakyat Vietnam melawan intervensi asing dari Perancis 1944-1954, kedua
perang rakyat Vietnam melawan intervesi asing dari Amerika Serikat 1957-1975
dan yang ketiga perang rakyat Vietnam melawan Kamboja yang di dalamnya terdapat
intervensi dari dua negara komunis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat yaitu
dari Uni Soviet dan RRC (Abdulgani, 1978: 20).
Latar belakang dari
perang antara Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan tidak terlepas dari tidak
dilaksanakannya pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 20 Juli 1956
(Winarko, 2007: 53). Kegagalan tersebut dinilai oleh pemerintahan Ho Chi Minh
untuk melakukan unifikasi Vietnam dalam satu pemerintahan karena menurut Ho Chi
Minh re-unifikasi merupakan jalan hidup kita. Hal tersebut membuat menjadi awal
pemicu terjadi perang saudara dimana Ho Chi Minh yang ingin menyatukan Vietnam
di bawah satu pemerintahan.
Konflik tersebut
semakin tegang setelah negara-negara lain melakukan intervensi di dalam masalah
Indocina itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada 19
Januari 1950 RRC (Republik Rakyat Cina) mengakui pemerintahan Viet Minh sebagai
kekuasaan berdaulat di Vietnam. Lain halnya dengan Amerika Serikat dan Inggris
yang secara resmi mengakui kekuasaan Bao Dai pada 6 Februari 1950 (Sudharmono,
2012). Hal tersebut semakin memperuncing perang dingin antara Uni Soviet dan
Amerika Serikat.
Pada perang saudara
tersebut yang Vietnam Utara ke luar sebagai pemenang perang di bawah gerakan
FPNVS (Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan) atau yang biasa disebut
dengan tentara Viet Cong (Sardiman, 1983: 35). Gerakan ini memiliki beberapa
tujuan yaitu untuk melawan rezim Saigon di bawah kekuasaan negara imperialis
Amerika Serikat, menciptakan Vietnam Selatan yang terhindar dari intervensi
asing, ingin mempersatukan seluruh Vietnam serta ingin memperbaiki kehidupan
sosial-ekonomi dalam bentuk revolusi sosial.
Kemenangan Vietnam
Utara pada peperangan melawan rezim Saigon tersebut menjadikan Vietnam bersatu
di bawah pimpinan Ho Chi Minh. Apabila dihubungkan dengan teori konfliknya Ralf
Dahrendorf bahwa dalam konflik tersebut akan menimbulkan konsep kepentingan.
Konsep kepentingan yang dimaksud dalam pandangan Ralf Dahrendorf ialah akan
adanya golongan superordinat dan subordinat yang artinya adanya golongan yang
menguasai dan dikuasai. Dalam hal ini Vietnam Utara di bawah kekuasaan Ho Chi
Minh mencoba untuk memasukkan ideologinya yaitu komunis kepada Vietnam Selatan.
Selain itu juga pemerintahan Ho Chi Minh akan dilakukan penyebarluasan pengaruh
komunis dan re-edukasi kepada rakyat Vietnam Selatan. Kebijakan tersebut
membuat para tentara atau rakyat Vietnam khusunya Vietnam Selatan yang berjuang
melawan rezim Saigon pada waktu dan berjuang bersama Vietnam Utara, ketika
telah mendapatkan kemenangan, mereka
malah dibuang dan dimasukkan ke dalam penjara. Akibatnya banyak dari mereka
yang melarikan diri ke luar negeri agar tidak terkena dampak dari kebijakan
tersebut.
Selain gejolak yang
terjadi di dalam negeri, seperti yang dicita-citakan oleh Ho Chi Minh yang
ingin menyatukan Vietnam dan negara sekitarnya di bawah pemerintahan Ho Chi Mih
menimbulkan invasi yang dilakukan oleh Vietnam ke Kamboja dan Laos. Dalam usaha
menaklukkan Laos, Ho Chi Minh tidak menemukan kesulitan yang berarti karena
komunis memang telah berkuasa di Laos dengan pemimpinnya yang bernama Pathet
Lao (TSM, 3 Juni 1990). Kemudian invasi dilanjutkan untuk menaklukkan Kamboja.
Di kamboja, Vietnam tidak memperoleh kemudahan yang sama seperti halnya di
Laos.
Kamboja pada saat itu
dikuasai ole Khmer Merah yang menolak ajakan dari Ho Chi Minh. Penolakan
tersebut memaksa Vietnam melakukan jalur militer atau kekerasan untuk
menaklukkan Kamboja. Perang antara Vietnam dan Kamboja terjadi setelah invasi
yang dilakukan oleh Vietnam terhadap Kamboja. Invasi tersebut mendapat kecaman
dari negara-negara Asia Tenggara yang menginginkan suatu kawasan yang damai,
aman dan netral.
Dibalik invasi yang
dilakukan Vietnam ke Kamboja, selain ingin menaklukkan negara tersebut,
ternyata mempunyai tujuan lain yaitu konflik sosial yang terjadi antara Vietnam
dengan Kamboja (Apriani, 2012: 49). Konflik tersebut dipicu oleh pengalaman
masa lalu yaitu ketika masih berbentuk kerajaan berhasil menguasai beberapa
wilayah Kamboja pada masa kerajaan Hue. Ketika kerajaan Hue menguasai Kamboja,
orang-orang Vietnam banyak yang bermigrasi ke Kamboja.
Konflik yang terjadi
antara Vietnam dan Kamboja pada masa lalu semakin diperparah dengan ikut
sertanya dua negara besar komunis yaitu RRC dan Uni Soviet dalam perang antara
Vietnam dan Kamboja menimbulkan kekhawatiran pada rakyat Vietnam. Alasannya
ialah memori kolektif yang dimiliki oleh rakyat Vietnam terhadap perang yang
sebelumnya perang Indocina II melawan Vietnam Selatan yang dibantu oleh imperialis
Amerika Serikat menimbulkan banyak korban. Keinginan dari rakyat Vietnam untuk
hidup dengan tenang tidak kunjung tercapai. Ditambah lagi dengan kebijakan Ho
Chi Minh dengan re-edukasinya tersebut menjadikan banyak rakyat Vietnam yang
menderita.
Bagi rakyat Vietnam,
daripada menjadi korban dari perang, lebih baik mereka meninggalkan negaranya.
Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang Vietnam yang ingin mendapatkan hidup
yang lebih tenang dan memilih meninggalkan negaranya. Dengan menggunakan
perahu, mereka mengarungi Laut Cina Selatan dan masuk ke beberapa negara Asia
Tenggara secara ilegal. Hal tersebut ternyata menimbulkan masalah untuk dunia
internasional. Sehingga permasalahan orang-orang Vietnam ini menjadi tanggung
jawab PBB.
UNHCR sebagai lembaga PBB yang bergerak dalam penyelesaian
masalah pengungsi turut serta dalam menyelesaikan status para pengungsi Vietnam
yang pada awalnya mencari suaka. Dalam hukum internasional mengenai pengungsi,
latar belakang terjadinya pengungsi dibedakan dalam dua jenis yaitu pertama
ialah pengungsi karena bencana alam (Natural
Disaster) yang artinya pengungsi pada prinsipnya masih dlindungi oleh
negaranya yang ke luar untuk menyelematkan jiwa mereka. Kedua ialah pegungsi
karena bencana yang dibuat oleh manusia (Man
Made Disaster) yang artinya ialah pengungsi ini ialah pengungsi yang kel uar
dari negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya. Biasanya
pengungsi ini ke luar dari negaranya karena alasan politik dan terpaksa
meninggalkan negaranya dan orang-orang yang mengungsi ini tidak mendapat
perlidungan dari negaranya (T.N, 1998: 4-5).
Menurut Harahap (2014: 7),
Solusi yang ditawarkan oleh UNCHR kepada para pengungsi sebagaimaa yang tertera
dalam pasal 1 Statuta UNHCR mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang
yaitu:
1) Pemulangan sukarela (Repatriation)
Syarat yang diperlukan untuk pemulangan
pengungsi secara sukarela ke negara asalnya adalah keamanan dan pulihnya
perlindungan nasional. Jika keduanya belum ada, seringkali pemulangan pengungsi
hanya bersifat sementara.
2)
Penempatan di negara ketiga (Resettlement)
Pemindahan pengungsi ke negara ketiga ini
merupakan alat perlindungan terhadap pengungsu yang hidup, kebebasan, keamanan,
kesehatan dan hak fundamental lainnya menghadapi resiko di negara suaka. Resettlement merupakan bentuk berbagi
beban dan tanggung jawab antara para peserta Konvensi 1951
3)
Integrasi lokal
Dalam integrasi
lokal, negara suaka menawarkan agar pengungsi dapat tinggal secara permanen di
wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi kewarganegaraan pengungsi
Solusi yang ditawarkan
untuk pengungsi Vietnam hanya dua yaitu resettlement
(pengiriman ke negara ketiga) dan repatriation
(pemulangan kembali ke negara asal). Untuk solusi yang ketiga yaitu integrasi
lokal, para pengungsi yang berada di Pulau Galang tidak ada yang ditawarkan
untuk solusi yang ketiga. Alasannya ialah karena tidak adanya tawaran dari
pemerintah Indonesia kepada para pengungsi Vietnam untuk menjadi warga negara
Indonesia. pemerintah Indonesia hanya menyediakan tempat untuk memproses para
pengungsi sebelum dikirim ke negara ketiga ataupun dipulangkan kembali ke
negara asal.
Dalam kasus pengungsi
dari Vietnam ini terlihat jelas bahwa mereka meninggalkan negaranya karena
adanya paksaan atau persekusi dari pemerintahan Ho Chi Minh. Pemerintahan Ho
Chi Minh melakukan indoktrinasi atau penyebarluasan pengaruh komunis ke Vietnam
Selatan yang pada saat dikuasai oleh Ngo Dinh Diem merupakan anti komunis.
Sehingga dalam usaha untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Ho Chi Minh harus
menggunakan jalur kekerasan agar cita-citanya tersebut dapat tercapai.
Ketika telah mendapat
status pengungsi dari UNHCR, pengungsi tersebut hanya bersifat sementara yang
artinya sewaktu-waktu status pengungsi tersebut dapat hilang. Dalam kasus
manusia perahu Vietnam yang telah mendapatkan suaka, UNHCR bertanggung jawab
penuh terhadap nasib para pengungsi tersebut. UNHCR melakukan pertemuan dengan
dengan para Menteri Luar Negeri ASEAN yang diselenggarakan di Bangkok.
Pertemuan pada tanggal 21 Februari 1979 tersebut menghasilkan Bangkok Statement (Poesponegoro, 2008:
625). Salah satu isi dari pertemuan di Bangkok tersebut ialah tiap
negara-negara ASEAN membantu meringankan beban pengungsi dengan menyiapkan
suatu tempat untuk penampungan sementara. Tempat penampungan sementara itu
digunakan sebagai tempat tinggal sementara para pengungsi sebelum akhirnya akan
dipulangkan kembali ke negara asal ataupun dikirim ke negara ketiga.
Untuk lebih memudahkan
UNCHR dalam membantu mengatasi permasalahan pengungsi di ASEAN, maka konfrensi
internasional yang dihadiri oleh 70 pemerintah mulai menggunakan pendekatan
regional yang kemudian dikenal sebagai rencana aksi yang komprhensif atau Comprehensive Plan Action (Robinson,
2004: 320). CPA (Comprehensive Plan
Action) ini merupakan kebijakan yang mempunyai ketergantungan dan komitmen
antara negara-negara suaka pertama di Asia Tenggara yang memiliki tempat
penampungan untuk pengungsi Vietnam. Kebijakan CPA juga ditujukan untuk
mengurangi keberangkatan yang secara sembunyi-sembunyi serta mempromosikan
migrasi legal yang pada akhirnya dilakukan penyaringan regional dan repatriasi.
Lima tujuan dari CPA
ialah (1) untuk mengurangi keberangkatan pengungsi secara sembunyi-sembunyi,
(2) menunjuk negara yang dijadikan suaka pertama untuk memproses para pengungsi
hingga solusi untuk para pengungsi tersebut ditemukan, (3) untuk menentukan
statusnya sebagai pengungsi sesuai standar dan kriteria internasional, (4) memberikan
pelajaran dan keterampilan kepada para pengungsi untuk dikirim ke negara ketiga
dan yang terakhir (5) untuk memulangkan kembali para pengungsi ke negara asal
(Robinson, 2004: 320). Kebijakan CPA ini sangat membantu kerja dari UNHCR dalam
menangani permasalahan manusia perahu Vietnam di Asia Tenggara serta dengan
adanya kerja sama yang baik antara yang baik antara negara-negara ASEAN yang
menerima para pengungsi Vietnam tersebut atas dasar kemanusiaan juga membuat
kerja UNHCR tidak terlalu berat.
Masuknya manusia perahu
Vietnam ke Indonesia ke beberapa pulau di wilayah Indonesia khususnya Kepulauan
Riau menjadi suatu permasalahan bagi Indonesia. Indonesia menganut politik
bebas aktif yaitu bebas untuk tidak memilih salah blok (non-blok) dan aktif
dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Namun disini ada baiknya jika politik
bebas aktif yang dianut Indonesia akan bijaksana apabila mengambil sikap
akomodatif ke luar namun meningkatkan kewaspadaan yang lebih besar ke dalam
negeri dalam menghadapi berkembangnya kekuatan komunis dan berusaha memberikan
isi lebih konkrit kepada doktrin ketahanan nasional terutama melalui usaha
peningkatan taraf hidup rakyat (Moertopo, 1976: 313).
Selain
itu, kedatangan manusia perahu Vietnam ke Indonesia membuat takut akan pengaruh
komunis yang di bawa oleh para manusia perahu tersebut. Namun di lain sisi,
kebijakan Indonesia di dalam ASEAN yaitu ZOPFAN membuat Indonesa berpikir
“apakah harus menerima manusia perahu Vietnam tersebut atau tidak?”. Hal
tersebut menjadi dilema bagi Indonesia. Namun pada akhirnya Indonesia pun
menerima karena Vietnam merupakan negara yang berada di Asia Tenggara yang
artinya masih saudara dengan Indonesia serta atas dasar kemanusiaan.
Indonesia yang
menginginkan suatu keadaan yang tenang dan damai serta ingin mewujudkan
perdamaian dunia khususnya di wilayah Asia Tenggara, Indonesia beranggapan
dengan membantu manusia perahu Vietnam tersebut merupakan salah satu jalan
untuk mewujudkan kebijakan ZOPFAN tersebut di Asia Tenggara. Sehingga Indonesia
mulai memberika bantuan kepada manusia perahu Vietnam yang masuk ke wilayah
Indonesia.
Penyelesaian permasalahan
pengungsi Vietnam juga tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam
Di Indonesia. Dalam Keputusan Presiden jelas bahwa peran Indonesia dalam
mengatasi permasalahan pengungsi Vietnam di Indonesia nyata. Indonesia menerima
para pengungsi Vietnam selain kebijakan luar negeri yang dianut juga karena
atas dasar kemanusiaan dan supaya terkoordinasi serta tidak mengganggu
stabilitas nasional. Salah satu langkah awal yang dilakukan ialah mencari pulau
untuk kamp sementara pengungsi selama processing.
Pemerintah Indonesia membentuk sebuah tim untuk menangani permasalahan
pengungsi Vietnam yang dinamakan P3V (Penanggulangan dan Pengelolaan Pengungsi
Vietnam). Tugasnya ialah mencari pulau untuk memproses para pengungsi. Setelah
melakukan pencarian pulau, terpilih lah Pulau Galang sebagai tempat pengelolaan
pengungsi.
Pemilihan pulau Galang
sebagai tempat memproses para pengungsi Vietnam tersebut karena wilayah Pulau
Galang merupakan tempat yang strategis dan memenuhi persayaratan yang sangat
cocok sebagai tempat pemrosesan. Jika dilihat secara letak geografis, letak
Pulau Galang bertetangga dengan negara Singapura dan Malaysia sehingga dapat
memudahkan jalur komunikasi dan kerja sama antar negara tersebut selama masa
memproses para pengungsi Vietnam. Selanjutnya mudah untuk menyalurkan pengungsi
ke negara ketiga, wilayahnya cukup luas untuk pendirian kamp pengungsi,
penduduknya sedikit serta tempat tersebut mudah dicapai demi keperluan bantuan
logistik baik itu dari pemerintah pusat ataupun dari negara tetangga
(Ismayawati, 2013: 16).
Dalam memproses para
pengungsi, UNHCR memberikan dua pilihan kepada pengungsi yaitu pengiriman ke
negara ketiga (resettlement) dan
pemulangan kembali ke negara asal (repatriation).
Pengungsi yang meninggalkan negaranya atas dasar untuk memperbaiki kehidupan
perekonomiannya maka para pengungsi tersebut akan dipulangkan kembali ke negara
asal. Kebanyakan pengungsi yang dipulangkan ke negara asal ialah pengungsi dari
Vietnam Utara yang tidak ada unsur politik dalam latar belakang mereka
mengungsi. Sedangkan pengungsi yang mengungsi karena adanya paksaan politik
maka pengungsi tersebut akan dikirim ke negara ketiga untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Kebanyakan pengungsi dari Vietnam Selatan lah yang
ditawarkan solusi resettlement oleh
UNHCR.
Barak-barak sebagai
tempat tinggal bagi pengungsi yang didirikan di Pulau Galang, juga terdapat
fasilitas-fasilitas lain yang sengaja dibangun untuk menunjang kehidupan para
pengungsi selama di sana. Fasilitas-fasilitas yang didirikan di Pulau Galang
untuk memproses pengungsi seperti rumah sakit, sekolahan, pasar, tempat
penampungan air, listik, rumah ibadah berbagai agama secara lengkap, pemakaman
umum dan juga terdapat penjara bagi mereka yang melakukan kejahatan (Zainudin,
2013: 3). Wilayah Pulau Galang ini dibuat eksklusif yaitu tertutup dari dunia
luar kecuali fasilitas rumah sakit yang dapat digunakan juga oleh masyarakat di
luar pengungsi.
Fasilitas-fasilitas
lainnya yang dibangun untuk keberlangsungan kehidupan para pengungsi seperti fitnes centre (tempat olahraga), youth centre (pelatihan untuk para
remaja) dan pelatihan bahasa. Para pengungsi yang berada di Pulau menjalani
kehidupan yang rutin. Pada pagi hari, para pengungsi belajar bahasa Inggris dan
bahasa asing lainnya yang merupakan syarat untuk dikirim ke negara ketiga
(Barr, 2014: 7). Program pendidikan bahasa ini diatur oleh yayasan Save The Children and The Experimental in
International Living (STC-EIL) yang dikontrak dan dibiayai oleh UNHCR. Selanjutnya
siang hari hingga sore hari, para pengungsi mengikuti kegiatan yang diadakan di
pelatihan keterampilan ataupun ada juga beberapa dari pengungsi yang melakukan
olahraga. Sedangkan untuk malam harinya para pengungsi ada yang memnafaatkan
waktu untuk berkunjung ke warung kopi ataupun menonton video (Ismayawati, 2013:
130). Namun meskipun begitu, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh para
pengungsi mendapat perhatian dan dikontrol oleh TNI yang bertugas untuk mengamankan
Pulau Galang dan menjaga keberlangsungan kehidupan para pengungsi.
Para pengungsi juga
memiliki hari untuk berlibur yaitu pada hari minggu. Biasanya pada hari minggu
ini, para pengungsi menghabiskan waktunya untuk rekreasi ke Pantai Melur yang
lokasinya tidak telalu jauh dari kamp pengungsian. Selain itu ada juga yang
beribadah ataupun mendalami program keterampilan seperti menjahit, membuat
kerajinan tangan dalam bentuk lukisan ataupun guci yang terbuat dari tanah
liat. Seperti itulah kegiatan para pengungsi setiap harinya sebelum mendapat
panggilan untuk dikirim ke negara ketiga.
Dalam kesehariannya,
para pengungsi Vietnam ini dibiayai oleh UNHCR termasuk segala kebutuhannya
perhari baik itu dari segi kebutuhan pokok seperti makan ditanggung oleh UNHCR.
Mereka mendapatkan jatah perlima hari untuk tiap orang yaitu seperti beras,
makanan dalam kemasan kaleng, mie, garam, gula pasir dan lain sebagainya
(Lampito, T.T : 21). Keadaan tersebut terkadang menjadikan terjadinya suatu
interaksi dalam bentuk barter yang dilakukan oleh para pengungsi dimana
barang-barang yang diterima tersebut mereka jadikan uang dengan melakukan
barter ataupun menjual kepada sesama pengungsi ataupun kepada penduduk asli
untuk mendapatkan uang. Hal tersebut membuat terciptanya suasana seperti pasar.
Selain
kegiatan ekonomi, para pengungsi Vietnam ini juga mengikuti kegiatan sosial.
Kegiatan tersebut merupakan inisiatif dari para pengungsi untuk mengisi waktu
luang seperti menyibukkan diri bercocok tanam, mengikuti kegiatan pramuka,
mengikuti pelatihan bahasa, dan lainnya. Para pengungsi Vietnam ini juga
mengikuti upacara kemerdekaan Indonesia ketika 17 Agustus dan ikut memeriahkan
dengan mengadakan lomba-lomba untuk mempererat persaudaraan diantara para
pengungsi (Ismayawati, 2013: 126)
Pulau
Galang juga memiliki fasilitas-fasilitas keagamaan yang menunjang peribadatan
para pengungsi yang memiliki kepercayaan. Gereja, Mushalla dan Pagoda merupakan
tempat peribadatan bagi para pengungsi dan TNI yang bertugas di sana.
Pembangunan gereja dan pagoda tersebut karena sebagian dari pengungsi Vietnam
itu merupakan agama Buddha dan Kristen. Sedangkan Mushalla biasanya digunakan
oleh para TNI karena penduduk muslim diantara para pengungsi dapat dikatakan
sedikit.
Selain fasilitas
keagamaan juga terdapat fasilitas olahraga yaitu fitness centre yaitu tempat pemusatan kebugaran bagi para pengungsi
agar dapat menjaga kondisi fisik tubuhnya dan untuk terhindar dari penyakit.
Kemudian terdapat youth centre yaitu
tempat untuk pemusatan para remaja seperti melakukan kegiatan pramuka dan
lain-lain. Selain itu, di youth centre
juga diberikan pengajaran pengembangan kreativitas dan bakat yang dimiliki para
pengungsi. Salah satunya ialah hasil dari kerajinan tangan para pengungsi yaitu
berupa patung ataupun lukisan yang terpajang di museum Pulau Galang dan menjadi
koleksi museum.
Dalam memproses para
pengungsi, UNHCR memberikan dua pilihan kepada pengungsi yaitu pengiriman ke
negara ketiga (resettlement) dan
pemulangan kembali ke negara asal (repatriation).
Pengungsi yang meninggalkan negaranya atas dasar untuk memperbaiki kehidupan
perekonomiannya maka para pengungsi tersebut akan dipulangkan kembali ke negara
asal. Kebanyakan pengungsi yang dipulangkan ke negara asal ialah pengungsi dari
Vietnam Utara yang tidak ada unsur politik dalam latar belakang mereka
mengungsi. Sedangkan pengungsi yang mengungsi karena adanya paksaan politik
maka pengungsi tersebut akan dikirim ke negara ketiga untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Kebanyakan pengungsi dari Vietnam Selatan lah yang
ditawarkan solusi resettlement oleh
UNHCR. Keadaan tersebut menimbulkan permasalahan karena para pengungsi ingin
dikirim ke negara ketiga dan tidak ingin dipulangkan, sehingga mereka yang
tidak lolos penyaringan untuk dikirim ke negara ketiga melakukan kekacauan.
Pemerintah melihat
keadaaan yang kurang kondusif tersebut mengambil tindakan yaitu dengan
membentuk Kogas (Komando Tugas). Latar belakang pendirian Komando Tugas karena
keadaan yang semakin tidak kondusif dalam hal untuk mengosongkan Pulau Galang.
Pada tanggal 7 Mei 1996 diadakan Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan (Rakor
Polkam) di Jakarta untuk membahas mengenai masalah pengungsi Vietnam dan
diputuskan dibentuklah Komando Tugas (Kogas) (Djamhari, 2007: 47).
Tugas utama dari Kogas
ini adalah untuk mempercepat pengembalian manusia perahu dari Pulau Galang dan
Tanjung Pinang. Jumlah manusia perahu yang tersisa 4.570 orang yag pada umumnya
rata-rata berasal dari kelompok aliran keras (mantan militer, politisi dan
pelaku kriminal) yang cenderung menolak untuk dipulangkan ke negara asalnya.
Apabila masalah tersebut tidak segera diselesaikan sampai batas yang telah
ditentukan maka UNHCR akan menghentikan bantuannya dan pengungsi Vietnam
tersebut menjai tanggung jawab dari negara asal yang kemungkinan akan menjadi
beban nasional dan akan menimbulkan dampak negatif. Untuk itulah Kogas dibentuk
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
KESIMPULAN
Latar belakang
munculnya manusia perahu ini merupakan sesuatu yang terjadi akibat perang
saudara antara Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan yang pada saat itu
dimenangkan oleh pihak Vietnam Utara di bawah rezim Ho Chi Minh. Ketika
berhasil memenangkan perang tersebut dimana Amerika Serikat ikut terlibat
dengan membantu Vietnam Selatan, pemerintahan Ho Chi Minh melakukan apa yang
disebut re-edukasi. Re-edukasi merupakan langkah yang diambil oleh pemerintahan
Ho Chi Minh untuk menghapus pemikiran-pemikiran yang muncul di Vietnam Selatan
yang berbeda dengan Vietnam Utara karena pengaruh dari Amerika Serikat
sebelumnya sehingga banyak dari masyarakat Vietnam Selatan memilih untuk
mengungsi dan meninggalkan negaranya karena adanya program re-edukasi tersebut
serta terhindar dari perang yang akan terjadi antara Vietnam dengan Kamboja.
Merekapun mengungsi menggunakan perahu untuk mengarungi lautan yang luas
sehingga mereka disebut manusia perahu (boat
people).
Peranan UNHCR (United Nations High Commissioner Refugees)
sebagai lembaga PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang bergerak menangani
permasalahan pengungsi ini baru terlihat setelah adanya perundingan dari
negara-negara ASEAN (Association of South
East Nation) yang melihat permasalahan manusia perahu tersebut akan
mengganggu stabilitas negaranya sehingga perlu adanya sikap untuk menangani
permasalahan tersebut. Sedangkan peran dari pemerintah Indonesia sendiri ialah
karena kebijakan politik yang dianut pada saat itu yaitu politik bebas aktif
yaitu bebas untuk tidak memihak blok manapun dan aktif dalam mewujudkan
perdamaian dunia. Salah satu langkah nyata yang dilakukan untuk mewujudkan hal
tersebut ialah membantu menyelesaikan permasalahan manusia perahu Vietnam.
Kehidupan para
pengungsi di Pulau Galang tidak terlepas dari kebijakan yang diberlakukan oleh
pemerintah Indonesia dan UNHCR. Ketika konstruksi pembangunan di Pulau Galang
seperti pembangunan barak untuk pengungsi, tempat hiburan dan tempat ibadah
selesai, para pengungsi pun dipusatkan di Pulau Galang. Selama berada di Pulau
Galang, para pengungsi terisolasi dari dunia luar. Hal tersebut dilakukan agar
para pengungsi tidak ada yang melarikan diri dari kamp pengungsian.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber
Arsip atau Dokumen
Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1979 Tentang
Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam Di Indonesia
Sumber
Buku
Abdoelgani,
R. (1978). Indocina Dalam Kawasan Asia
Tenggara Dewasa Ini. Jakarta: Yayasan Idayu
Djamhari, S.A. (2007). Prajurit TNI Dalam Tugas Kemanusiaan Galang 96. Jakarta: Pusat
Sejarah TNI
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah
Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press
Ismayawati, I. (2013). Manusia Perahu. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Lampito, O. (T.T). Galang: Memory of a Past Tragedy. Batam: Badan Otorita Pengembangan
Daerah Industri Pulau Batam
Moertopo, A. (1976). Studi Wilayah: Jilid Pertama. Jakarta: BAKIN
Poesponegoro,
M.D. dan Notosusanto, N. (2007). Sejarah
Nasional Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
Sardiman
AM. (1983). Kemenangan Komunis Vietnam
dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta
Sjamsuddin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak
Sudharmono.
2012. Sejarah Asia Tenggara Modern : Dari
Penjajahan Ke Kemerdekaan. Yogyakarta : Ombak
Sumber Skripsi atau Tesis
Apriani, R.D. (2013). Keterlbatan Uni Soviet Dan Republik Rakyat Cina Dalam Pendudukan
Vietnam Di Kamboja 1978-1991. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI Bandung: Tidak
diterbitkan.
Winarko,
A. (2007). Perang Vietnam 1954-1975. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI Bandung: Tidak
diterbitkan
Sumber Artikel atau Jurnal
Robinson,
W. Courtland. (2004). The Comprehensive
Plan of Action for Indochinese Refugees, 1989-1997: Sharing the Burden and
Passing the Buck dalam Journal of Refugees Studies. Oxford University Press
17, (3), 320
T.N.
(1998). Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum
Internasional.E-Journal Universitas Negeri Sebelas Maret, 45 (12), hlm. 2-3
Sumber Internet
Barr,
G. (2014). Galang Refugee Camp Site I
& Site II. [Online]. Tersedia: http://www.galangcamp.blogspot.com/ [4 Oktober
2014]
Harahap,
H. (2014). Peranan UNHCR Dalam Melindungi
Pengungsi Di Indonesia. [Online]. Tersedia: https://www.academia.edu/3774645/PERANAN_UNHCR_DALAM_MELINDUNGI_PENGUNGSI_DI_INDONESIA
[7
September 2014]
Zainudin,
A. (2013). Kisah Pilu 250.000 Pengungsi
Vietnam di Batam. [Online]. Tersedia: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/03/30/kisah-pilu-250000-pengungsi-vietnam-di-batam-546473.html
[5
Oktober 2014]
Sumber Majalah
Majalah TEMPO 28 Agustus 1982 “ Vietnam: Mereka Yang
Tercampakkan”
TSM (Teknologi dan Strategi Militer), 3 Juni 1990
“Indocina Yang Senantiasa Bergejolak”