“Sejarah dan Perkembangan Sistem Pertanian Dengan Irigasi
di Indonesia”
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir mata
kuliah Teori-Teori Sosial Budaya
disusun oleh
Aneu
Meilina K 1006473 Ida Widaningsih 1006602
Mufti
Nurlita S 1006416 Niar Riska A 1000905
Novrisa
Yulinda 1008911 Omet Rasyidi 1006027
Daman 1000116 Erlangga Agung P 1002035
Indra
Jaya S 1005723 Redi Andryana 1001917
Ridho
Yulian 1001518 Vialli Agung S 1001371
Vindy Priharyadi 1001661
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Irigasi
adalah suatu sistem untuk mengairi suatu lahan dengan membendung sumber air
atau dapat diartikan sebagai suatu usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan
air irigasi untuk menunjang sistem pertanian. Sistem irigasi tersebut sudah
dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk
mempermudah dalam pengairan lahan pertanian ataupun perkebunan terlebih jika
wilayah tersebut mempunyai iklim dengan curah hujan yang tinggi.
Sistem
irigasi sudah mulai dikenal sejak peradaban Mesir Kuno yang memanfaatkan Sungai Nil untuk
pengairan pertanian mereka. Di Indonesia irigasi tradisional pun telah
berlangsung sejak jaman nenek moyang. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam cara
pengairan dan bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia yaitu dengan cara membendung sungai
secara bergantian untuk dialirkan ke sawah-sawah. Cara lain untuk pengairan adalah
mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang disambungankan da
nada juga yang menggunakan cara dengan membawa ember yang terbuat dari daun pinang
atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan Irigasi ?
2.
Bagaimana Sejarah
dan Perkembangan Sistem Irigasi di Indonesia ?
3.
Bagaimana Sistem
Irigasi di berbagai daerah Indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Pengertian Irigasi
2.
Sejarah dan Perkembangan
Sistem Irigasi di Indonesia
3.
Sistem Irigasi di
Aceh, Jambi, Yogyakarta, Karawang, Bali, dan Kalimantan
D. Manfaat
Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan
baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna
untuk menambah pengetahuan kita mengenai Sejarah dan Perkembangan Sistem
Pertanian dengan menggunakan Irigasi di Indonesia. Secara praktis makalah ini
diharapkan bermanfaat bagi :
1.
penulis, sebagai
wahana penambahan pengetahuan dan konsep keilmuan mengenai Sistem Irigasi yang
ada di Indonesia;
2.
pembaca/ dosen,
sebagai media informasi tentang pemahaman awal mengenai Sistem Irigasi di
Indonesia;
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SISTEM IRIGASI DI INDONESIA
A.
Pengertian Irigasi
Irigasi
adalah suatu sistem untuk mengairi suatu lahan dengan membendung sumber air
atau dapat diartikan sebagai suatu usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan
air irigasi untuk menunjang sistem pertanian. Sistem irigasi tersebut sudah
dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk
mempermudah dalam pengairan lahan pertanian ataupun perkebunan terlebih jika
wilayah tersebut mempunyai iklim dengan curah hujan yang tinggi.
Selain untuk mengairi sawah atau
lahan pertanian, irigasi juga memiliki tujuan lain yaitu :
1)
Memupuk atau merabuk
tanah
2)
Membilas air kotor,
biasanya terdapat di perkotaan dimana saluran-saluran di daerah perkotaan
banyak terdapat kotoran yang akan mengendap jika dibiarkan sehingga perlu
dilakukan pembilasan.
3)
Kultamase dilakukan
bila air yang mengalir banyak mengandung mineral atau material kasar.
4)
Memberantas hama
5)
Mengatur suhu tanah,
misalnya ketika suatu daerah suhu tanahnya terlalu tinggi dan tidak sesuai
dengan pertumbuhan tanaman maka suhu tanah dapat disesuaikan dengan cara
mengalirkan air untuk merendahkan suhu tanah.
6)
Membersihkan tanah
7)
Mempertinggi permukaan
air tanah
Adapun sistem irigasi pertanian
kemudian dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya yaitu sebagai berikut :
1)
Irigasi permukaan,
yaitu sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui pembendungan
kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan
pertanian.
2)
Irigasi local, yaitu
sistem irigasi dimana air di distribusikan dengan cara pipanisasi ke lahan pertanian
yang disebar hanya terbatas ataupun hanya di daerah local itu saja.
3)
Irigasi dengan
penyemprotan, yaitu sistem irigasi dengan menyemprotkan air seperti kabut,
sehingga tanaman mendapat air dari atas dan bagian yang terlebih dahulu basah
adalah daun kemudian menyerap ke akar.
4)
Irigasi tradisional,
yaitu sistem irigasi yang memerlukan banyak tenaga kerja perorangan. Hal ini
dikarenakan sistem irigasi tradisional ini menggunakan wadah dalam mengalirkan
air ke lahan pertaniannya seperti ember.
5)
Irgasi pompa air, yaitu
sistem irigasi dengan menaikkan air dari sumur melalui pompa air yang kemudian
dialirkan dengan berbagai cara misalnya dengan pipa atau saluran ke lahan
pertanian (sawah).
Kemudian sistem irigasi juga
mempunyai beberapa fungsi yaitu memasok kebutuhan air tanaman, menjamin
ketersediaan ir apabila terjadi betatan, menurunkan suhu tanah, mengurangi
kerusakan akibat frost, dan melunakkan lapis keras pada saat pengolahan tanah.
Sistem irigasi ini sangat bermanfaat bagi pertanian, terutama di daerah
pedesaan. Dengan pemanfaatan sistem irigasi, lahan sawah dapat digarap setiap
tahunnya, dapat dipergunakan untuk peternakan, dan keperluan lain yang
bermanfaat.
B.
Sejarah dan Perkembangan Sistem Irigasi di Indonesia
Sistem irigasi sudah mulai dikenal sejak peradaban Mesir Kuno yang memanfaatkan Sungai Nil untuk
pengairan pertanian mereka. Di Indonesia irigasi tradisional pun telah
berlangsung sejak jaman nenek moyang. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam cara
pengairan dan bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia yaitu dengan cara membendung sungai
secara bergantian untuk dialirkan ke sawah-sawah. Cara lain untuk pengairan adalah
mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang disambungankan da
nada juga yang menggunakan cara dengan membawa ember yang terbuat dari daun pinang
atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
Di Bali,
irigasi juga sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti dengan adanya sedahan atau disebut juga petugas yang
melakukan koordinasi atas subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah
wilayahnya. Sedangkan pengertian subak sendiri adalah suatu masyarakat hukum
adat di Bali yang bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh
dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat
usaha tani.
Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam
melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut
mengupayakan agar semua lahan yang dibuat untuk persawahan maupun perkebunan
harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya. Sejarah
irigasi di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu sebagai berikut:
1.
Masa Pra-Kolonial
Dalam
pembangunan sistem irigasi di Indonesia, masa pra-kolonial ditandai dengan wujud
kegiatan dengan kuatnya kearifan lokal yang sangat tinggi. Teknologi dan
kelembagaan lokal sangat menentukan keberadaan sistem irigasi saat itu. Sistem
irigasi yang ada umumnya mempunyai skala luas sawah yang kecil dan terbatas.
Sehingga pada masa ini sangat menaruh perhatian pada kapital sosial dari
masyarakat sendiri.
2.
Masa Kolonial
Pada masa
kolonoial ini, pembangunan irigasi sudah mulai diintervensi oleh kepentingan
pemerintah kolonial. Pembangunan dan pengelolaan irigasi yang sebelumnya banyak
dikelola oleh masyarakat, sebagian telah diasimilasikan dengan pengelolaan
melalui birokrasi pemerintah. Teknologi yang digunakan dan kelembagaan
pengelola juga sudah dikombinasikan antara kemampuan masyarakat lokal dengan
teknologi dan kelembagaan yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya
manajemen pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan kombinasi
antara potensi kapital sosial yang ada di masyarakat dengan kemampuan birokrasi
pemerintah kolonial.
3.
Masa Revolosi/Pasca
Kolononial
Pada masa
ini kegiatan pengairan tidak banyak dilakukan, karena pemerintahan saat
itu masih memprioritaskan pembangunan politik yang diwarnai terjadinya
polarisasi kekuatan politik internasional pasca perang dunia ke-2, serta
suasana konfrontasi dengan negara tetangga yang terjadi pada saat itu. Sehingga
kondisi dan peran kapital sosial dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi
secara eksisting tidak banyak berbeda dengan era kolonial.
4.
Masa Orde Baru.
Pada
masa Orde Baru ini oleh sebagian pengamat disebut sebagai kebangkitan rezim
pemerintah. Pada masa ini ditandai dengna adanya kebangkitan peran pemerintah
dalam memperkuat sektor pangan nasional. Sehingga aspek pembangunan dan
rehabilitasi besar-besaran di bidang irigasi, banyak dilakukan oleh pemerintah.
Pada masa ini, pemerintah berhasil menggantikan undang-undang pengairan versi
pemerintah Kolonial, menjadi UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Akibat sangat
kuatnya orientasi pemerintah untuk meraih swa-sembada pangan/beras, maka
kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi banyak dilakukan oleh pemerintah.
Pendekatan tersebut berakibat pada ditinggalkannya kapital sosial masyarakat
lokal dalam keirigasian, dan bahkan banyak terjadi marjinalisasi kapital sosial
masyarakat. Pendekatan tersebut membawa konsekuensi ketidakjelasan peran
masyarakat dalam keirigasian, yang akibat selanjutnya menjadi masyarakat lokal
yang pasif.
5.
Masa Pasca Orde
Baru/Reformasi.
Pada
masa ini dapat juga disebut sebagai respon masyarakat terhadap sistem
pembangunan dan pendekatan pembangunan yang totaliter dan sentralistis
yang terjadi pada Orde baru. Sehingga masyarakat menuntut adanya reformasi
pelaksanaan dan pendekatan pembangunan, termasuk melakukan regulasi ulang dalam
berbagai sektor pembangunan. Dalam masa ini lahir UU No. 7/2004 tentang Sumber daya
air, dan PP No. 20/2006 tentang Irigasi. Seharusnya pada masa ini tidak
mengulang pendekatan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru,
dimana pemerintah sangat mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pada masa ini perlu dibangun suatu sistem dan mekanisme pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi yang memberi peran yang lebih nyata kepada
masyarakat, dan juga perlu dijadikan masa kebangkitan kapital sosial masyarakat
dalam sistem keirigasian Indonesia pada saat sekarang dan untuk kedepannya.
Di Indonesia irigasi tradisional telah
berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok
tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali
secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air
pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa
dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang
dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
Perkembangan
irigasi di Indonesia ketika masa pemerintahan Hindia Belanda adalah
melaksanakannya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia
Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak
untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam
mengeksplotasi tanah jajahannya.
Sistem
irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier.
Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika
Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam
sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para
petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya. Waduk
Jatiluhur 1955 di Jawa Barat.
Tennessee
Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D.
Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama
dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh
dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi
Amerika Serikat.
Isu TVA
adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir,
pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek
TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu
Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS
tersebut.
Waduk
Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari
pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H.
Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai
dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air
yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/thn.
Adapun
perkembangan irigasi di Indonesia dapat dilihat dari sistem-sistem irigasi yang
digunakan di Indonesia. Menurut Sudjarwadi (1990), ditinjau dari proses
penyediaan, pemberian, pengelolaan dan pengaturan air, sistem irigasi dapat
dikelompokkan menjadi 4 adalah sebagai berikut :
1. Sistem
Irigasi Permukaan (Surface Irrigation System)
Irigasi permukaan merupakan metode pemberian air yang
paling awal dikembangkan. Irigasi permukaan merupakan irigasi yang terluas
cakupannya di seluruh dunia terutama di Asia. Sistem irigasi permukaan terjadi
dengan menyebarkan air ke permukaan tanah dan membiarkan air meresap
(infiltrasi) ke dalam tanah. Air dibawa dari sumber ke lahan melalui saluran
terbuka baik dengan atau lining maupun melalui pipa dengan head rendah.
Investasi yang diperlukan untuk mengembangkan irigasi permukan relatif lebih
kecil daripada irigasi curah maupun tetes kecuali bila diperlukan pembentukan
lahan, seperti untuk membuat teras.
Sistem irigasi permukaan (Surface
irrigation), khususnya irigasi alur (Furrow irrigation) banyak dipakai
untuk tanaman palawija, karena penggunaan air oleh tanaman lebih efektif.
Sistem irigasi alur adalah pemberian air di atas lahan melalui alur, alur kecil
atau melalui selang atau pipa kecil dan megalirkannya sepanjang alur daalam
lahan (Michael,1978).
Untuk menyusun suatu
rancangan irigasi harus diadakan terlkebih dahulu survei mengenai kondisi
daerah yang bersangkutanserta penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanah
pertanian, bagi bagian-bagian yang akan diirigasi dan lain-lain untuk
menentukan cara irigasi dan kebutuhan air tanamannya (Suyono dan Takeda, 1993).
Suatu daerah irigasi
permukaan terdiri dari susunan tanah yang akan diairi secara teratur dan
terdiri dari susunan jaringan saluran air dan bangunan lain untuk mengatur
pembagian, pemberian, penyaluran, dan pembuangan kelebihan air. Dari sumbernya,
air disalurkan melalui saluran primer lalu dibagi-bagikan ke saluran sekunder
dan tersier dengan perantaraan bangunan bagi dan atau sadap terser ke petak sawah
dalam satuan petak tersier. Petak tersier merupakan petak-petak
pengairan/pengambilan dari saluran irigasi yang terdiri dari gabungan petak
sawah. Bentuk dan luas masing-masing petak tersier tergantung pada topografi
dan kondisi lahan akan tetapi diusahakan tidak terlalu banyak berbeda. Apabila
terlalu besar akan menyulitkan pembagian air tetapi apabila terlalu kecil akan
membutuhkan bangunan sadap. Ukuran petak tersier diantaranya adalah, di tanah
datar : 200-300 ha, di tanah agak miring : 100-200 ha dan di tanah perbukitan :
50-100 ha.
Terdapat beberapa keuntungsn menggunakan
irigasi furrow. Keuntungannya sesuai untuk semua kondisi lahan, besarnya
air yang mengalir dalam lahan akan meresap ke dalam tanah untuk dipergunakan
oleh tanaman secara efektif, efisien pemakaian air lebih besar dibandingkan
dengan sistem irigasi genangan (basin) dan irigasi galengan (border).
Untuk menyusun suatu rancangan irigasi terlebih
dahulu dilakukan survey mengenai kondisi daerah yang bersangkutan serta
penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanaman pertaniannya, bagian-bagian
yang diairi dan lain-lain untuk menentukan cara irigasi dan kebutuhan air
tanamannya.
Sistem
irigasi permukaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peluapan dan
penggenangan bebas (tanpa kendali) serta peluapan penggenangan secara
terkendali. Sistem irigasi permukaan yang paling sederhana adalah peluapan
bebas dan penggenangan. Dalam hal. ini air diberikan pada areal irigasi dengan
jalan peluapan untuk menggenangi kiri atau kanan sungai yang mempunyai
permukaan datar. Sebagai contoh adalah sistem irigasi kuno di Mesir. Sistem ini
mempunyai efisiensi yang rendah karena penggunaan air tidak terkontrol. Gambar
dibawah ini memberi ilustrasi mengenai sistem irigasi dengan peluapandan
penggenangan bebas.
Sistem
irigasi permukaan lainnya adalah peluapan dan penggenangan secara terkendali.
Cara yang umum digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan bangunan
penangkap, saluran pembagi saluran pemberi, dan peluapan ke dalam petakpetak
lahan beririgasi. Jenis bangunan penangkap bermacam-macam, diantaranya adalah
(1) bendung, (2) intake, dan (3) stasiun pompa.
2. Sistem Irigasi Bawah Permukaan (Sub Surface
Irrigation System)
Sistem irigasi bawah permukaan dapat dilakukan
dengan meresapkan air ke dalam tanah di bawah zona perakaran melalui sistem
saluran terbuka ataupun dengan menggunakan pipa porus. Lengas tanah digerakkan
oleh gaya kapiler menuju zona perakaran dan selanjutnya dimanfaatkan oleh
tanaman.
3. Sistem irigasi dengan pancaran (sprinkle
irrigation)
Irigasi curah atau siraman (sprinkle)
menggunakan tekanan untuk membentuk tetesan air yang mirip hujan ke permukaan
lahan pertanian. Disamping untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Sistem ini
dapat pula digunakan untuk mencegah pembekuan, mengurangi erosi angin,
memberikan pupuk dan lain-lain. Pada irigasi curah air dialirkan dari sumber
melalui jaringan pipa yang disebut mainline dan sub-mainlen dan ke beberapa
lateral yang masing-masing mempunyai beberapa mata pencurah.
Sistem irigasi curah dibagi menjadi dua yaitu
set system (alat pencurah memiliki posisi yang tepat),serta continius system
(alat pencurah dapat dipindah-pindahkan). Pada set system termasuk ; hand move,
wheel line lateral, perforated pipe, sprinkle untuk tanaman buah-buahan dan gun
sprinkle. Sprinkle jenis ini ada yang dipindahkan secara periodic dan ada
yang disebut fixed system atau tetap (main line lateral dan nozel tetap tidak
dipindah-pindahkan). Yang termasuk continius move system adalah center pivot,
linear moving lateral dan traveling sprinkle.
Menurut Hansen et. Al (1992) menyebutkan ada
tiga jenis penyiraman yang umum digunakan yaitu nozel tetap yang dipasang pada
pipa, pipa yang dilubangi (perforated sprinkle) dan penyiraman berputar. Sesuai
dengan kapasitas dan luas lahan yang diairi serta kondisi topografi, tata letak
system irigasi curah dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
a. Farm system, system dirancang
untuk suatu luas lahan dan merupakan satu-satunya fasilitas pemberian air
irigasi
b. Field system, system dirancang
untuk dipasang di beberapa laha pertanian dan biasanya dipergunakan untuk
pemberian air pendahuluan pada letak persemaian,
c. Incomplete farm system,
system dirancang untuk dapat diubah dari farm system menjadi fiekd system atau
sebaliknya.
Berapa kelebihan sistem irigasi curah dibanding
desain konvensional atau irigasi gravitasi antara lain :
a. Sesuai untuk daerah-daerah
dengan keadaan topografi yang kurang teratur dan profil tanah yang
relative dangkal.
b. Tidak
memerlukan jaringan saluran sehingga secara tidak langsung akan menambah luas
lahan produktif serta terhindar dari gulma air
c. Sesuai untuk
lahan berlereng tampa menimbulkan masalah erosi yang dapat mengurangi tingkat
kesuburan tanah.
Sedangkan kelemahan sistem irigasi curah
menurut Bustomi (1999), adalah:
a. Memerlukan biaya
investasi dan operasional yang cukup tinggi, antara lain untuk operasi pompa
air dan tenaga pelaksana yang terampil.
b. Memerlukan rancangan
dan tata letak yang cukup teliti untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi
Menurut Keller (1990) efisiensi irigasi curah
dapat diukur berdasarkan keseragaman penyebaran air dari sprinkle. Apabila
penyebaran air tidak seragam maka dikatakan efisiensi irigasi curah rendah.
Parameter yang umum digunakan untuk mengevaluasi keseragaman penyebaran air
adalah coefficient of uniformity (CU). Efisiensi irigasi curah yang tergolong
tinggi adalah bila nilai CU lebih besar dari 85%.
Berdasarkan penyusunan alat penyemprot, irigasi
curah dapat dibedakan ; (1) system berputar (rotaring hed system) terdiri dari
satu atau dua buah nozzle miring yang berputar dengan sumbu vertical akibat
adanya gerakan memukul dari alat pemukul (hammer blade). Sprinkle ini umumnya
disambung dengan suatu pipa peninggi (riser) berdiameter 25 mm yang
disambungkan dengan pipa lateral, (2) system pipa berlubang (perforated pipe
system), terdiri dari pipa berlubang-lubang, biasa dirancang untuk tekanan
rendah antara 0,5-2,5 kg/cm2 , hingga sumber tekanan cukup diperoleh
dari tangkai air yang ditempatkan pada ketinggian tertentu.
Umumnya komponen irigasi curah terdiri dari (a)
pompa dengan tenaga penggerak sebagai sumber tekanan, (b) pipa utama, (c) pipa
lateral, (d) pipa peninggi (riser) dan (e) kepala sprinkle (head sprinkle).
Sumber tenaga penggerak pompa dapat berupa motor listrik atau motor bakar. Pipa
utama adalah pipa yang mengalirkan air ke pipa lateral. Pipa lateral adalah
pipa yang mengalirkan air dari pipa utama ke sprinkle. Kepala sprinkle adalah
alat/bagian sprinkle yang menyemprotkan air ke tanah.
4.
Sistem irigasi tetes (Drip Irrigation)
Irigasi tetes adalah suatu sistem pemberian air
melalui pipa/ selang berlubang dengan menggunakan tekanan tertentu, dimana air
yang keluar berupa tetesan-tetesan langsung pada daerah perakaran tanaman.
Tujuan dari irigasi tetes adalah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tanpa
harus membasahi keseluruhan lahan, sehingga mereduksi kehilangan air akibat
penguapan yang berlebihan, pewmakaian air lebih efisien, mengurangi limpasan,
serta menekan/mengurangi pertumbuhan gulma.
Ciri- ciri irigasi tetes adalah debit air kecil
selama periode waktu tertentu, interval (selang)yang sering, atau frekuensi
pemberian air yang tinggi , air diberikan pada daerah perakaran tanaman, aliran
air bertekanan dan efisiensi serta keseragaman pemberian air lebih baik .
Menurut Michael(1978) Unsur-unsur utama pada
irigasi tetes yang perlu diperhatikan sebelum mengoperasikan peralatan irigasi
tetes adalah :
a. Sumber air, dapat berupa
sumber air permanen (sungai, danu, dan lain-lain), atau sumber air buatan
(sumur, embung dan lain-lain)
b. Sumber daya, sumber tenaga
yang digunakan untuk mengalirkan air dapat dari gaya gravitasi (bila sumber air
lebih tinggi daripada lahan pertanaman), dan untuk sumber air yang sejajar atau
lebih rendah dari pada lahan pertanaman maka diperlukan bantuan pompa. Untuk
lahan yang mempunyai sumber air yang dalam, maka diperlukan pompa penghisap
pompa air sumur dalam.
c. Saringan, untuk mencegah
terjadinya penyumbatan meke diperlukan beberapa alat penyaring, yaitu saringan
utama (primary filter) yang dipasang dekat sumber air, sringan kedua (secondary
filter) diletakkan antara saringan utama dengan jaringan pipa utama.
Dewasa ini keberhasilan
tumbuh tanaman cendana di lahan kritis savana kering NTT dirasakan masih rendah
(kurang dari 20%). Hal ini disebabkan pada awal penanaman di lapangan cendana
belum beradaptasi dengan baik karena masalah kondisi tanahnya marginal dan kekurangan
air. Masalah kekurangan air akibat curah hujan yang rendah,waktunya pendek dan
turunnya tidak teratur adalah salah satu masalah krusial yang dihadapi setiap
tahun. Untuk menangani masalah ini maka teknik pengairan secara konvensional
dengan irigasi tetes perlu diterapkan agar tanaman cepat beradaptasi dengan
lingkungan sehingga pertumbuhannya meningkat. Pemanfaatan irigasi tetes dengan
menggunakan wadah yang murah dan mudah didapat di lokasi penanaman seperti
bambu, botol air mineral dan pot tanah serta pemanfaatan air embung,mata
air,sungai dan pemanenan air hujan perlu mendapatkan pertimbangan. (http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id)
Irigasi tetes adalah teknik penambahan
kekurangan air pada tanah yang dilakukan secara terbatas dengan menggunakan
tube (wadah) sebagai alat penampung air yang disertai lubang tetes di bawahnya.
Air akan keluar secara perlahan -lahan dalam bentuk tetesan ke tanah yang
secara terbatas membasahi tanah. Lubang tetes air dapat diatur sedemikian rupa
sehingga air cukup hanya membasahi tanah di sekitar perakaran
(http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id - Web Site BBP Mekanisasi Pertanian)
Menurut Hansen (1986) kegunaan
dari Irigasi tetes adalah :
a.
Untuk menghemat penggunaan air tanaman.
b. Mengurangi kehilangan air
yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi.
c. Membantu memenuhi
kebutuhan air tanaman pada awal penanaman sehingga juga akan meningkatkan
pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman.
d. Mengurangi stresing atau
mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh
tanaman.
e. Melakukan pemanenan air
hujan lewat wadah irigasi tetes secara terbatas sehingga dapat digunakan
tanaman.
Sistem irigasi tetes
memang konsep pemanfaatan air tanaman yang belum populer Namun, sistem ini
telah membumi di belahan bumi lain. Orang asing telah menginsyafi seberapa
banyak porsi air minum yang bisa mengobati dahaga yang dirasakan tanaman.
Tanaman diberi “minum” secukupnya. “Jika kelebihan air, nutrisi yang mesti
diserap tanaman bisa hanyut. Andai kebanyakan air pun batang tanaman bisa
membusuk. Jadi, jangan menyiram tanaman sampai tampak seperti kebanjiran,”
Konsep taman kota maupun taman keluarga dianjurkan memakai sistem ini. Tanaman cukup
ditetesi air sesuai porsi yang diperlukannya. Cara ini bukan hanya membantu
tanaman tak sampai kelebihan mengonsumsi air. “Sistem ini pun lebih bernilai
ekonomis ( http://www.cybertokoh.com/mod.php)
Sistem yang digunakan adalah dengan memakai
pipa-pipa dan pada tempat-tempat tertentu diberi lubang untuk jalan keluarnya
air menetes ke tanah. Perbedaan dengan sistem pancaran adalah besarnya tekanan
pada pipa yang tidak begitu besar.
Pemilihan
jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, klimatologi,
topografi, fisik dan kimiawi lahan, biologis tanaman, sosial ekonomi dan
budaya, teknologi (sebagai masukan sistem irigasi) serta keluaran atau hasil
yang akan diharapkan.
Sedangkan
cara pemberian air irigasi ini berdasarkan topografi, ketersediaan air, jenis
pertimbangan lain. tergantung pada kondisi tanah, keadaan tanaman, iklim,
kebiasaan petani dan Cara pemberian air irigasi yang termasuk dalam eara
pemberian air lewat permukaan, dapat disebut antara lain :
a. Wild flooding : air
digenangkan pada suatu daerah yang luas pada waktu banjir cukup tinggi sehingga
daerah akan eukup sempurna dalam pembasahannya, cara ini hanya cocok
apabila eadangan dan ketersediaan air cukup banyak.
b. Free flooding: daerah yang
akan diairi dibagi dalam beberapa bagian, atau air dialirkan dari bagian yang
tinggi ke bagian yang rendah.
c. Check flooding : air dari
tempat pengambilan (sumber air) dimasukkan ke dalam selokan, untuk kemudian
dialirkan pada petak-petak yang kecil, keuntungan dari sistem ini adalah bahwa
air tidak dialirkan pada daerah yang sudah diairi.
d. Border strip method : daerah
pengairan dibagi-bagi dalam luas yang keeil dengan galengan berukuran 10 x 100
m2 sampai 20 x 300 m2, air dialirkan ke dalam tiap petak
melalui pintu-pintu.
e. Zig-zig method: daerah
pengairan dibagi dalam sejumlah petak berbentuk jajaran atau persegi
panjang, tiap petak dibagi lagi dengan bantuan galengan dan air akan
mengalir melingkar sebelum meneapai lubang pengeluaran. Cara ini menjadi dasar
dari pengenalan perkembangan teknik dan peralatan irigasi.
f. Bazin method : cara
ini biasa digunakan di perkebunan buah-buahan. Tiap bazin dibangun mengelilingi
tiap pohon dan air dimasukkan ke dalarnnya melalui selokan lapangan seperti
pada chek flooding.
g. Furrow method : cara ini
digunakan pada perkebunan bawang dan kentang serta buah-buahan lainnya.
Tumbuhan tersebut ditanam pada tanah gundukan yang paralel dan diairi melalui
lembah di antara gundukan.
C.
Sistem Irigasi di Berbagai Daerah
a.
Aceh
Aceh merupakan salah satu
provinsi yang letaknya di kawasan bagian barat wilayah Republik Indonesia atau
pada penghujung bagian utara pulau Sumatera. Provinsi daerah istimewa Aceh ini
sebagian besar terdiri dari daratan persambungan pulau Sumatera dan ditambah
dengan beberapa pulau kecil lainnya yang terletak di bagian barat laut dan
selatan daratan tersebut. Terdapat banyak etnis dan suku yang mendiami Daerah
Istimewa Aceh ini.
Selain
berladang, mata pencaharian bertani yang kedua adalah bersawah. Mata
pencaharian ini menjadi mata pencaharian mayoritas atau pokok di kehidupan
masyarakat Aceh. Padi merupakan bahan makanan pokok sehari-hari dari seluruh
rakyat. Sawah-sawah dibentuk petak dengan yang lainnya dibatasi ateung (pematang) dan terdapat parit-parit
yang disebut leueng. Sistem
pengairannya masih menggunakan batang pinang atau batang pisang sehingga
pekerjaan bertani ini cukup memakan waktu. Dengan demikian sistem pengairan
atau irigasi di Masyarakat Aceh tersebut masih tergolong tradisional. Namun,
semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan maka sistem irigasi
tersebut semakin berkembang dan canggih.
Dari mata pencaharian yang telah
disebutkan tersebut dapat diketahui bahwa potensi sumber daya yang ada di
Provinsi Aceh seperti halnya sumber daya lahan, sumber daya air dan sumber daya
manusia relaif cukup melimpah. Kondisi geografisnya bervariatif mulai dari
daerah pedataran di kawasan pantai hingga daerah pegunungan yang berada di
bagian tengah. Dengan kondisi geografi kawasan pegunungan tersebut maka banyak
dijumpai banyak anak-anak sungai yang pada akhirnya membentuk sebuah sungai
yang merupakan sumber air untuk irigasi yang secara berkelanjutan mengalirkan
air yang pada akhirnya akan menuju ke laut, inilah yang menjadi sumber air yang
potensial. Sumber daya manusia atau penduduknya juga mempunyai pencaharian
pokok yang sebagian besar adalah petani. Dengan adanya perkembangan teknologi
yang relatif tidak terlalu canggih untuk diterapkan di sektor pertanian, maka
pengembangan sistem pertanian dapat menjadi tulang punggung pengembangan
ekonomi di Provinsi Aceh. Proses pengembangan pertanian khususnya di bidang
irigasi perlu dituntaskan dengan penanganan pasca panen, sehingga
pengembangannya akan menuju kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh.
Oleh
karena itu, dengan potensi lahan yang relatif sangat luas dengan tingkat
kesuburan yang tinggi dan kondisi iklim yang mendukung, maka usaha pengembangan
pertanian melalui program irigasi merupakan dasar pengembangan dan peningkatan
petumbuhan ekonomi masyarakat Aceh. Air irigasi diperlukan pada musim kering
(kemarau) dimana air yang tersedia disumbernya sendiri juga mengalami
penyusutan sehingga penyadapan air tidak dapat terlaksana sesuai dengan
perencanaan.
Air
yang dibutuhkan dapat saja tidak sampai ke sawah karena adanya kerusakan
seperti jebolnya pintu air dan saluran pada saat terjadi bencana alam banjir
yang belum diperbaiki. Solusinya adalah perbaikan kerusakan secepatnya sebelum
musim tanam tiba. Perbaikan ringan sebenarnya dapat dilakukan oleh masyarakat
petani melalui gotong royong dan kalau terjadi kerusakan berat adalah tanggung
jawab pemerintah.
b.
Jambi
Jambi
merupakan sebuah wilayah agraris yang terletak dipesisir timur bagian tengah
Pulau Sumatra. Jambi termasuk salah satu daerah yang diduga berasal dari suku
bangsa Melayu, yaitu kerajaan Melayu yang terletak di Batang Hari. Sebagai
wilayah agraris Jambi memiliki matapencaharian yang khas dalam sistem
pertaniannya. Dimana masyarakat Jambi memiliki ladang dan sawah sebagai media bertani
mereka.
Dalam
melakukan bercocok tanam berladang, masyarakat Jambi mengklasifikasikan dua
jenis tanah yang bisa dijadikan lahan untuk dijadikan ladang, yaitu umo renah dan umo malang. Umo renah adalah ladang yang cukup luas
yang terbentang pada sebidang tanah yang subur dan rata. Tanah tersebut
biasanya terdapat di pinggir sungai dan lereng bukit yang datar. Ladang ini
biasanya ditanami oleh padi dengan melubangi tanah dengan cara ditugal. Sedangkan umo talang, yaitu ladang yang dibuat orang di dalam hutan belukar
yang letaknya jauh dari pedesaan dan biasanya ditanami padi dan tanaman
pendukung disekitarnya.
Kemudian
untuk bersawahnya sendiri, orang Jambi menerapkan sistem yang hampir sama
dengan masyarakat Indonesia lainnya. Dimana, masyarakat Jambi memiliki tiga
model sawah, yaitu :
a.
Sawah
payau adalah sawah yang dibuat di atas
sebidang tanah yang secara alamiah telah mendapat air dari suatu sumber air,
atau tanahnya sendiri telah mengandung air.
b.
Sawah
tadah hujan yaitu sebidang tanah kering yang
diolah dengan mempergunakan cangkul atau bajak yang diberi galangan atau
pematang, kemudian pengairannya sangat tergantung pada hujan.
c.
Sawah
irigasi merupakan sawah sejenis tanah sawah
yang digarap dengan sistem irigasi, namun tanah diolah dengan cara memakai sumber
air dari mata air atau sungai.
Dalam mengolah
pertaniannya, masyarakat Jambi menggunakan cara tradisional, seperti penggunaan
kincir air sebagai sistem pengairan dan peralatan seperti cangkul, sabit,
parang serta bajak kerbau. Kincir air dianggap tepat karena di Jambi banyak
terdapat sungai dengan air yang deras. Kincir tersebut merupakan sebuah alat
dari kayu dan dipola seperti kipas, berbentuk bulat dimana bagian tengahnya
diberi tuas sebagai poros sehingga dapat berputar ketika kincir menganai air.
a)
Sejarah Sistem
Pertanian dengan Irigasi di Jambi
Pada mulanya para
petani Jambi akan membuat atau memperbaiki parit sebagai saluran air untuk
mengairi sawahnya. Air parit berasal dari mata air atau dari sungai. Namun,
apabila tidak ada mata air atau sungai sedang kering, maka masyarakat Jambi pun
terpaksa mengalirkan air melalui air sungai yang ditampung kemudian dialirkan
dengan menggunakan kincir air.
Mengingat
Jambi merupakan sebuah privinsi yang terletak di pantai Timur Pulau Sumatera
yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Selat Karimata. Jika melihat
kembali kepada letak geografis Jambi, tidak heran jika pertanian tumbuh subur
disana, hal ini karena Jambi yang sebagai besar berupa tanah yang baik untuk
hutan dan persawahan. Pertanian ini menjadi salah satu peninggalan dari
masyarakat Jambi sebelumnya, termasuk yang unik adalah alat pertanian untuk
irigasi tradisional yaitu kincir air. Meskipun untuk dizaman sekarang alat
tersebut sudah jarang ditemui, padahal alat tersebut sangat efektif ketika musim
kemarau datang dan kekurangan air mulai membuat khawatir petani dalam mengairi
sawahnya. Dalam mengolah sawah irigasinya pun, masyarakat tidak hanya diam.
Mereka membabat rumput dan jerami, mencangkul dan membajak, mencindang atah
atau membalikkan tanah, membabat pematang dan mengahaluskan tanah yang
menjadikan kincir air sebagai sentralnya.
b)
Perkembangan Sistem
Pertanian dengan Irigasi di Jambi
Tanah yang subur di
Jambi, memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat Jambi untuk mengolahnya
menjadi lahan pertanian. Bahkan untuk sekarang ini, pertanian di Jambi masih
dipertahankan khususnya di daerah pedesaan.
Hal ini karena menurut masyarakat Jambi, bertani adalah salah satu
identitas dari mereka maka, tidak mudah untuk menjaga identitas tersebut untuk
tetap berkembang, selain harus menjaganya. Seperti dalam sistem irigasi, umo renah dan umo talang yang merupakan
sebuah metode periode sejarah Jambi yang harus dikerjakan secara kolektif dan
turun temurun. Hal ini, menjadi bukti bahwa masyarakat Jambi sudah berdampingan
dengan alam sejak dahulu. Kemudian untuk perkembangan dari sistem irigasi
dengan kincir air pun sama mengalani perkembangan, dimana sekarang sudah
terdapat kincir air modern yang terbuat dari besi dan pipa paralon.
Pertumbuhan pertanian di
Jambi, terlihat pada tahun 1978-1986 yang cukup tinggi, dimana sektor pertanian
mampu mencapai tingkat pertumbuhan diatas 5% pertahun. Sebagian besar
masyarakat pedesaan Jambi masih mencukupi kebutuhan beras sehari-hari mereka
dari olahan sawah sendiri. Kondisi produksi pertanian yang relatif bagus
tersebut, adalah buah kebijaksanaan ekonomi makro disektor pertanian yang
benar-benar berbasi pertanian. Rata-rata sektor pertanian mencapai pertumbuhan
6,8% pertahun. Produktivitas pertanian secara nasional rata-rata meningkat 5,6%
pertahun cukup dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Jambi.
c)
Tantangan Sistem
Pertanian dengan Irigasi di Jambi
Dalam
sistem pertanian di Jambi, tantangan yang kemudian muncul adalah tantangan yang
biasa dihadapi oleh petani lainnya di Indonesia. Dimana, seiring dengan
perkembangan zaman memumculkan alat-alat modern, misalnya traktor untuk petani.
Akan tetapi harga gabah yang cenderung turun menyebabkan banyak petani yang
lebih memilih menjadi buruh dan menjual sawahnya. Adanya revolusi hijau juga,
selain berdampak positif ternyata ada juga dampak negatifnya dimana dengan
revolusi hijau yang
dicananangkan pemerintah menyebabkan adanya dampak negatif berupa sistem
monokultur tanaman. Kabupaten Bungo Tebo, Batang Hari dan Kabupaten Sarko saat
itu masih didominasi monokultur tanaman karet rakyat.
Kebijaksanaan pengembangan sektor perindustrian yang
diawali lebih intensif pada 1990 membawa pengaruh terhadap sektor pertanian di
Jambi. Sehingga banyak masyarakat Jambi yang urbanisasi kekota dengan
pendidikan seadanya, untuk menjadi buruh bangunan atau tukang ojek yang tingkat
produktivitas relatif rendah. Seharusnya mereka tetap tinggal di desa sebagai
petani untuk mengolah tanahnya. Akan tetapi dari hal ini terlihat, bahwa
masyarakat Jambi yang berada dipedesaan kurang puasa dan tidak tertarik lagi
menjadi petani.
c.
Yogyakarta
Dalam masyarakat Yogyakarta tidak
sedikit masyarakatnya yang bermata
pencaharian sebagai petani atau buruh tani. Sejalan dengan kemajuan teknologi,
berbagai peralatan modern di bidang pertanian sudah dikenalkan pemerintah
Yogyakarta sejak tahun 1960-1970 an. Di dalam pengolahan sawah dapat dikatakan
bahwa hampir semua penduduk Yogyakarta baik yang bermukim di dataran tinggi
maupun dataran rendah masih menggunakan peralatan pertanian yang sama jenis dan
fungsinya. Pada sebelumnya dalam system pengairan di daerah Yogyakarta masih
menggunakan sistem tadah hujan, tadah hujan disini yaitu maksudnya tanah sawah
yang pengairannya tergantung pada air hujan, dimana hal ini sering digunakan
pada daerah yang keadaan tanah di daerah tersebut tidak memungkinkan
penduduknya untuk menikmati pengairan dalam mengolah sawahnya di sepanjang
tahun, oleh karena itu panen yang dapat mereka nikmati hanya satu kali dalam
satu tahun.
Pada saat ini pengolahan sawah
dengan menggunakan pengairan teknis atau tanah sawah yang memperoleh pengairan
menggunakan system irigasi teknis sudah mulai berkembang dimana yang dimaksud
irigasi teknis ini yaitu jaringan irigasi Dimana saluran pemberi terpisah dari
saluran pembuang, hal ini dilakukan agar penyediaan dan pembagian air dapat
diatur dan diukur dengan mudah. Biasanya jaringan semacam ini terdiri dari
saluran induk dan sekunder serta tersier, dimana saluran induk dan sekunder,
serta dalam distribusinya dibangun dan dipelihara oleh Dinas pengairan atau
pemerintahan biro.
Bagi desa-desa di Yogyakarta yang
desanya telah dilintasi saluran irigasi tersier dengan begitu dapat melakukan
pengairan di sepanjang waktu, dimana para petani hanya tinggal mengontrol kapasitas
air yang dibutuhkan. Selain itu, dengan adanya system irigasi ini pada saat
musim kemarau para petani tidak lagi membiarkan sawahnya tidak ditanami apapun.
Merekapun memiliki kesempatan untuk menanami sawahnya dua kali dalam satu
tahun, atau bahkan tiga kali dalam satu tahun.
Perubahan dari system tadah hujan
ke system irigasi memberikan banyak keuntungan bagi petani Yogyakarta, dimana
adanya irigasi menyebabkan frekuensi menanam padi di sawah meningkat. Perubahan
disini tidak hanya terjadi pada frekuensi menanam padi saja tetapi juga pada
hasilnya yang mengalami peningkatan, dimana sebelum adanya system irigasi
teknis tanah seluas 2000m, para petani paling banyak mendapatkan hasil sebanyak
5 kuintal tetapi setelah diterapkannya system irigasi hasilnya dapat mencapai 8
kuintal. Apabila terjadi suatu kerusakan saluran-saluran pengairan, biasanya
menjadi tanggung jawab bagian dari pembinaan pengairan, akan tetapi jika
membutuhkan swadaya masyarakat biaya ditanggung bersama oleh para pemakai air.
Sistem irigasi teknis ini tidak digunakan
oleh semua masyarakat Yogyakarta, dibeberapa tempat lainnya menggunakan system
irigasi yang berbeda seperti pada daerah Harjobinangun, dimana pengairan untuk
mengolah sawah diperoleh dari sumber mata air pegunungan di sekitar kaliurang.
Oleh penduduk setempat system ini disebut dengan system “Ilenan”, atau tanah
sawah pengairan non PU, yaitu tanah sawah yang memperoleh pengairan dari system
pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan PU. System
ilenan ini dilakukan dengan cara masyarakat bergotong royong membendung sungai
yang bermata air dari kaliurang, selanjutnya dialirkan ke parit yang akhirnya
menuju ke sawah-sawah.
Dalam memperkenalkan system
pertanian yang modern sudah dilakukan oleh pemerintah dengan adanya salah satu
program pemerintah Yogyakarta dalam rangka meningkatkan hasil pertanian. Dalam
usahanya untuk mewujudkan hal-hal tersebut di terdapat suatu program yang
disebut dengan Panca Usaha Tani yaitu adanya penggunaan bibit unggul, pemupukan,
pengairan, pembrantasan hama dan penyakit dan teknik bercocok tanam.
Keberhasilan pembangunan pertanian
di propinsi Yogyakarta di samping diluncurkannya program Panca Usaha Tani, juga
dipengaruhi oleh tanggapan dari masyarakat yang berarah kepada tanggapan
positif terhadap program yang dikembangkan oleh pemerintah daerah tersebut.
Jelaslah bahwa petani Yogyakarta memang menjadi contoh nasional yang mampu
dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang memungkinkan peningkatan produksi
padi secara menyakinkan, sehingga propinsi ini meskipun luas sawahnya yang
beririgasi relatif sempit, dapat mengatasi masalah pangan penduduknya.
Disamping Yogyakarta juga Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,dan Jawa Barat. Bahkan
dibandingkan dengan Jepang dan Taiwan petani Yogyakarta dan Jawa mampu melipat
gandakan hasil per hektar padi jauh lebih cepat yaitu 13 tahun, sedangkan
petani Jepang memerlukan waktu 65 tahun, dan petani Taiwan 32 tahun.
d.
Karawang
Sebelum menjelaskan
tentang sejarah dan perkembangan sistem pertanian irigasi di salah satu wilayah
Indonesia, maka saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari
sistem pertanian dan irigasi. Selain itu juga sistem pertanian yang akan
dijelaskan yaitu di daerah Karawang, Jawa Barat.
Pertanian dalam
arti sempit adalah sebagai kegiatan budidaya jenis tanaman tertentu. sedangkan
dalam arti luas, pengertian pertanian adalah mencakup semua kegiatan yang
melibatkan pemanfaatan makhluk hidup untuk kepentingan manusia. Jadi pertanian
merupakan kegiatan dengan memanfaatkan sumber daya hayati yang dilakukan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber
energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
Pembangunan sistem
irigasi adalah penyediaan dalam menghantarkan air dari sumber air ke lahan pertanian.
Sistem irigasi akan mempunyai nilai ekonomi apabila air yang dihantarkan menuju
lahan pertanian yang produktif. Irigasi berperan sebagai sarana produksi dalam
memenuhi kebutuhan pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu kesatuan
yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan, pembagian,
pengelolaan dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi pertanian.
Peranan penting
dari irigasi ialah untuk menyediakan air bagi tanaman serta untuk mengatur
kelembapan tanah, membantu menyuburkan tanah karena kandungan yang dibawa oleh
air, dapat menekan pertumbuhan gulma, dan dapat memudahkan pengolahan tanah.
Kabupaten Karawang
merupakan sebuah kabupaten di Jawa Barat. Kabupaten ini berbatasan dengan
kabupaten Bekasi dan kabupaten Bogor di barat, Laut Jawa di utara, kabupaten
Subang di timur, kabupaten Purwakarta di tenggara, serta kabupaten Cianjur di
selatan. Kabupaten karawang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang
menjadi gudang beras nasional. Prasarana sumberdaya air yang ada di Kabupaten
Karawang berupa saluran-saluran irigasi teknis yang berfungsi menunjang
kegiatan pertanian lahan sawah sebagai kegiatan penduduk yang dominan. Saluran
induk yang terdiri dari: Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk Tarum Tengah,
dan Saluran Induk Tarum Barat. Dalam pengairan sawah di Kabupaten Karawang
berada di daerah pengairan Jatiluhur dan di luar daerah pengairan Jatiluhur.
Masyarakat di
Kabupaten Karawang sebagian besar mata pencahariannya dari pertanian, maka
sistem pertanian di Kabupaten Karawang telah mengenal irigasi bahkan mereka
telah mengembangkan metode SRI. System of
Rice Intensfication (SRI) yaitu cara budidaya tanaman padi yang intensif
dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran dengan berbasis pada
pengolahan tanah, tanaman dan air. Di Indonesia gagasan SRI telah di uji coba
dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pada dasarnya konsep metode SRI adalah
tanam benih muda dengan pola tanam tunggal (satu benih untuk satu lubang) dan
menggunakan sistem irigasi berselang (terputus). Pada metode SRI sistem
pertanian dalam penanaman padai menggunakan unsur-unsur organik seperti
pestisida nabati, pupuk organik, sehingga membuat lahan dapat menjadi lebih
subur.
Penerapan
pengelolaan sistem pertanian pada tanaman padi di Kabupaten Karawang
menggunakan metode SRI. Hal ini dikarenakan tanah di Kabupaten Karawang secara
umum bertekstur lengket dan kering yang menandakan bahan organik rendah.
Disamping telah menggunakan cara yang sudah modern, ada juga sebagian
masyarakat di sana yang masih memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya untuk
membuat kompos dengan memanfaatkan kotoran hewan, jerami sisa panen, arang
sekam dan sebagainya.
e.
Bali
Dalam hal ini saya mengkaji sejarah
dan perkembangan sistem pertanian dengan irigasi di daerah Bali. Bali merupakan
daerah yang mempunyai potensi besar dalam pertanian, hal tersebut dapat dilihat
dari letak geografis Bali dengan empat danau besar yang mampu memberikan
pembagian air secara merata. Adapun tiga
buah danau diantaranya Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan berfungsi sebagai
sumber air bagi Bali tengah, barat, dan selatan. Sementara danau Batur yang
terletak di Bangli berfungsi sebagai sumber air di Bali bagian timur.
Perkembangan bidang pertanian di
Bali cukup membanggakan, salah satunya di daerah Bali Utara. Hal tersebut
diketahui bahwa pada tahun 1970-1980 tanaman jeruk di Buleleng menjadi tanaman
primadona yang dapat mengantarkan Bali utara dalam kesuksesan di bidang
ekonomi. Selain itu, keberhasilan Bali dalam bidang pertanian juga dipengaruhi
besar oleh sistem pertanian irigasi tradisional Bali yaitu Subak.
Subak adalah sistem irigasi
masyarakat Bali yang di dalamnya menyangkut hukum adat dan memiliki
karakteristik khas yaitu sosio-agraris-religius.Sistem irigasi Subak ini juga
merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan persawahan.
Adapun beberapa kajian yang dilakukan oleh para ahli mengatakan bahwa sistem
irigasi Subak merupakan cerminan dari konsep Tri Hita Karana (THK) yang pada
hakikatnya terdiri dari Parahyangan ditujukan pemujaan terhadap pura pada
wilayah subak, Pawongan menandakan adanya organisasi yang mengatur sistem
irigasi subak, dan Palemahan menandakan kepemilikan lahan atau wilayah di
setiap subak. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan yang bersifat timbal
balik.
Sistem pertanian dengan sistem
irigasi Subak yang terdapat di Bali sebenarnya telah ada sebelum sistem
pertanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678 M. Walaupun sistem irigasi
Subak tercatat di Bali sejak tahun 1071, hal tersebut disebabkan oleh peran dan
pengaruh raja-raja di Bali yang mempengaruhi perubahan pada sistem irigasi
subak. Adapun perwujudan konsep THK dalam operasional sistem irigasi subak
antara lain :
a.
Subsistem budaya yang
dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan
keharmonisan dan kebersamaan.
b.
Subsistem sosial yang
dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan
petani, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga konflik yang
terjadi di dalam subak dapat dihindari agar tercipta keharmonisan.
c.
Subsistem artefak/kebendaan yang
dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan
kebutuhan subak, pendistribusian air secara adil, dan proses peminjaman air.
Sehingga, konflik-konflik dapat dicegah.
Sistem irigasi Subak merupakan perkembangan dari beberapa tempek yang
memiliki luas areal yang besar serta sulit untuk dikooordinasikan dan
subak memiliki otonomi ke dalam dan ke luar. Tempek merupakan
suatu komplek persawahan yang mendapat air irigasi dari satu sumber tertentu.
Akan tetapi, setiap tempek hanya memiliki otonomi ke dalam.
Sistem organisasi Subak di Bali ini
juga mempunyai organisasi subak dengan
membentuk tim kerja yang berorientasi pada kecapaian tujuan yang
diinginkan dalam organisasi subak tersebut. Organisasi subak tersebut berkaitan
dengan cara sistem irigasi yang mengatur penyediaan air, maka pada suatu subak
di daerah tertentu menunjuk seorang petilik (pengawas air) yang
bertugas mengawasi pendistribusian dan alokasi air di kawasan tersebut secara
rutin.
Di dalam subak. peranan pengurus (pekaseh)
subak menentukan keberhasilan subak yang dipimpinnya tersebut. Sebab ia yang
mengatur air irigasi pada saat kondisi air yang kritis, menetapkan hari baik
untuk menanam tanaman tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada dasarnya,
pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip
THK.
Selain itu, dalam sistem irigasi
Subak terdapat tradisi-tradisi dan upacara keagamaan yang masih teru dilakukan
sampai saat ini. Untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut, biasanya subak
memungut iuran dari anggota subaknya. Adapun pemimpin subak ini dikenal dengan
sebutan pekaseh yang bertugas untuk
mrngkoordinasikan tugas-tugas keluar dan kedalam yang dapat mempegaruhi sistem
perairan dan pertanian di Bali. Kemudian latar belakang didirikannya organisasi
Subak yaitu beberapa ribu tahun yang
lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam.
Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup
jauh dan terbatas.
Akan tetapi, munculnya sistem
irigasi ini tidak dapat dilepaskan dengan latar belakang sejarah di Pulau Jawa,
khususnya sejarah Jawa Timur. Berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang
terdapat masa kerajaan-kerajaan di jawa Timur membuktikan bahwa pertanian sawah
merupakan matapencaharian yang penting. Karena itu sistem irigasi yang
dimilikinya tentu sudah terorganisir dengan baik.Perpindahan penduduk karena
suatu hal dari Pulau Jawa ke Bali tentu berpengaruh juga terhadap perpindahan
budaya yang dimilikinya dengan berbagai konsekuensinya, termasuk sistem irigasi
yang dimilikinya. Inilah yang menyebabkan semakin sempurnanya sistem irigasi di
Bali yang sudah ada sebelumnya, kemudian dikenal dengan nama Subak.
Maka dari itu, sistem irigasi Subak
di Bali dalam implementasinya sangat diatur dengan baik terlihat dari jadwal
tanam yang dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun
tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu dan bagi petani
yang melanggar akan dikenakan sanksi. Sedangkan untuk memperoleh penggunaan air
yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran
drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani. Sementara itu,
untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, para petani di Bali
melakukannya dengan cara-cara seperti:
1.
Saling pinjam meminjam
air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang
sistemnya terkait.
2.
Melakukan sistem
pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang
berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan
bersama.
3.
Melakukan sistem
pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik
petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu
kawasan tertentu di sekitarnya.
4.
Jika debit air irigasi
sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari,
pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak.
Dibalik keunggulan-keunggulan yang
terdapat pada sistem irigasi tradisional khususnya Subak mempunyai kelemahan,
adapun kelemahan paling menonjol dari yaitu ketidakmampuannya untuk membendung
pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih
fungsi lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk
didalamnya sistem subak di Bali menjadi tidak berjalan dengan baik.
Adapun salah satu penyebabnya yaitu
dengan adanya revolusi hijau, dimana
telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi tradisional, dengan adanya
varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi
sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Metode yang
baru pada revolusi hijau ini pada awalnya menghasilkan hasil panen
yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti
kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.
Dari beberapa pemaparan diatas
mengenai sistem irigasi Subak di Bali, maka saya melihat bahwa sistem irigasi
Subak memiliki karakteristik yang unik apabila dibandingkan dengan sistem
tradisional. Keunikan tersebut terletak pada terdapatnya pura-pura yang khusus
dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan yang ditujukan sebagai ungkapan
rasa syukur dan terima kasih kepada para petani
yang ditujukan untuk memuja Dewi Sri.
f.
Kalimantan
Lahan pasang
surut adalah lahan yang musim penghujannya berlangsung pada bulan desember-mei permukaan
air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Musim kemarau
terjadi pada bulan juli-september, air permukaan akan surut yang mana pada saat
itu tanaman padi baru dapat ditanam pada lokasi yang berair (LIPI Kalimantan,
1994).
Dalam keadaan
alaminya lahan rawa pasang surut letaknya terpencil dan tidak ada penduduk yang
menggarapnya. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan oleh Pemerintah
terutama disepanjang pesisir Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat serta di
bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua).
Tanah Lahan
Pasang Surut memiliki sifat yang berbeda dari tanah lainnya :
a.
Tanah
sulfat masam dengan senyawa pirit
Pirit adalah zat yang hanya
ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu
lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. pirit dapat
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
Ciri tanah yang telah
teracuni pirit adalah :
a) Tampak gejala keracunan besi pada
tanaman
b) Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
c) Ada lapisan merah di pinggiran
saluran.
d) Tanaman mudah terserang penyakit
e) Hasil panen rendah
b.
Air pasang besar dan kecil
c.
Kedalaman air tanah
d.
kemasaman air yang menggenangi lahan
1)
Sistem Pengairan Lahan Pasang Surut
Sistem pengairan pada lahan pasang surut dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu :
a.
Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)
Sistem ini
dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem irigasi
bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena
sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya
menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
Dari keadaan air
sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka
untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem
pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara
paralel.
b.
Sistem Aliran Satu Arah
Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu
air.
1) Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan
(irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran
pengeluaran(drainase).
2) Saluran pemasukan diberi pintu
air yang membuka ke dalam, sehingga pada waktu
pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut.
3) Saluran pengeluaran diberi pintu
air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air surut air dapat keluar dan
air tidak dapat masuk jika air sedang pasang.
4) Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu
ditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap
gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada waktu air pasang kecil.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Agus, dewea. 2012. Sejarah Perkembangan Irigasi dan Jenis. [Online]. Tersedia: http://deweaghoez.blogspot.com/2012/04/sejarah-perkembangan-irigasi-dan-jenis.html.
[09 November 2012]
Herawati, Isni. (1989). Peralatan Produksi Tradisional dan
Perkembangannya Di Derah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Ahira, Anne. (2011). Sistem Irigasi di Indonesia. Tersedia :
http://www.anneahira.com/irigasi.htm. [Online : 08 November 2012]
Yanto, Hendra. (2010). Karya Tulis dalam Pengairan. Tersedia :
http://hendra-yanto.blogspot.com/2010/09/karya-tulis-dalam-pengairan.html
[Online : 08 November 2012]
Wardani, Meriani
Puspa. _____. Kajian Strategi Peningkatan
Efisiensi Air Irigasi Melalui Metode System Of Rice Intensification Dengan
Pendekatan Eksperimental. [Online].
Tersedia: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52435/H11mpw.pdf?sequence=1. [05 November 2012]
_____. _____. Informasi Umum Sarana dan Prasarana Saluran
Irigasi. [Online]. Tersedia: http://www.karawangkab.go.id/informasi-umum/sarana-dan-prasarana/saluran-irigasi.html.
[05 November 2012]
Yudho. 2011. Sawah Pasang Surut. [Online]. Tersedia:
http://yudhozona.blogspot.com/2011/06/sawah-pasang-surut.html. [ 10 November 2012 ].
Tn. 2003. Kualitas Lahan. Kualitas
Lahan di Daerah Rawa Pasang Surut (Hidrologi dan Tanah). [Online]. Tersedia: http://www.eelaart.com/kualitas.htm. [10 November 2012]
Efendi,
Yusuf. 2011. Mengenal Sistem Pertanian
Tradisional Jambi. [Online]. Tersedia: http://melayuonline.com/ind/opinion/read/467/mengenal-sistem-pertanian-tradisional-jambi.
[ 09 November 2012].
Safri,
Muh. 2007. Jambi Kota Beradat.
[Online]. Tersedia: .http://www.kotajambi.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=181&Itemid=121.
[09 November 2012].
Safri,
Muh. 2009. Pertanian Jambi, Dulu dan Sekarang.
[Online]. Tersedia: http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2009/11/pertanian-jambi-dulu-dan-sekarang.html.
[09 November 2012].
Suhara,
Adi. 2011. Komoditi Pertanian Jambi.
[Online]. Tersedia:http://djambi-koha.blogspot.com/2009/04/komoditas-pertanian-jambi.htm.
[09 November 2012].
Tn.
2011. Kincir Air Tradisional: Alat
Irigasi Sawah di Jambi. [Online]. Tersedia:
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2571/kincir-air-tradisional-alat-irigasi-sawah-di-jambi.
[ 09 November 2012].
Tn.
2012. Jambi. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Jambi. [ 09
November 2012].
Sepyarini, Daning Eka. 2012. Sistem Irigasi Subak di Bali. [Onlne].
Tersedia : http://blog.ub.ac.id/daningfpub/2012/06/27/sistem-irigasi-subak-di-bali/.
[03 Oktober 2012].
Budiarto, Tri. 2012. Subak Bali Sistem Pengairan Terbaik. [Online]. Tersedia : http://oase.kompas.com/read/2011/07/14/04275193/Subak.Bali.Sistem.Pengairan.Terbaik.
[03 November2012 ].
Kompas. 2012. Subak Sistem-Sistem Teknologi Irigasi Tradisional yang Berkeadilan,
Bersandar pada Kearifan Lokal dengan Pendekatan Sosio Kultural. [Online].
Tersedia : http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/21/subak-sistem-teknologi-irigasi-tradisional-yang-berkeadilan-bersandar-pada-kearifan-lokal-dengan-pendekatan-socio-cultural/.
[03 November 2012].
Syamsuddin, T dkk. 1977. Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tn.
2012. Aceh Utara Kembangkan Pola Sekolah
Lapangan Terpadu. [Online]. Tersedia : http://wartaaceh.com/aceh-utara-kembangkan-pola-sekolah-lapang-terpadu/
[04 November 2012]
Reza. 2012. Irigasi (Pengenalan) : Segala Hal Tentang Irigasi. [online].
Tersedia : Rezaslash.blogspot.com/2012/03/irigsi-pengenalan.html. [09 November
2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar